Kenapa Seharusnya Tak Benci Orang Miskin, melainkan Skeptis pada Sistem

Intinya sih...
- Orang miskin sering dihakimi, dicurigai, dan disalahkan karena kemiskinannya.
- Sistem besar yang seharusnya jadi sasaran emosi, malah membuat orang miskin jadi korban ketidakadilan.
- Akses pendidikan dan kebijakan publik menjadi faktor penentu kesenjangan sosial bagi orang miskin.
Orang miskin sering jadi bahan omongan, dijadikan contoh buruk, bahkan dicurigai karena kemiskinannya seolah hasil dari kesalahan diri sendiri. Kata "malas", "bodoh", atau bahkan "gagal berusaha" sering dilemparkan tanpa pikir panjang, seakan kemiskinan bisa diselesaikan hanya dengan motivasi atau kerja lebih keras. Padahal kenyataannya kalau bahas kemiskinan akan jauh lebih rumit sebab ada banyak sisi yang gak terlihat di permukaan.
Ada sistem besar yang membentuk bagaimana hidup seseorang bisa terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Tapi karena sistem itu abstrak dan gak kelihatan bentuknya, akhirnya yang dijadikan sasaran emosi adalah subjeknya, dalam hal ini adalah orang miskin. Di sinilah seseorang harus sadar mengapa seharusnya tak benci orang miskin, melainkan harus skeptis pada sistem. Berikut pemaparannya!
1. Sistem membentuk peluang bukan orang yang memilih jadi miskin
Banyak orang miskin lahir di situasi yang memang sejak awal gak adil. Dari akses pendidikan, layanan kesehatan, sampai tempat tinggal, semuanya seringkali sudah jauh dari kata layak bahkan sejak seorang bayi lahir. Gak semua orang punya start yang sama, dan ini bukan soal siapa yang lebih kerja keras, tapi siapa yang lebih beruntung punya sistem pendukung.
Kalau sistem dari awal timpang, maka perjuangan orang-orang miskin rasanya bak mendaki gunung tanpa alat bantu memadai. Sementara orang lain yang sudah naik ke puncak, orang miskin masih cari pijakan. Makanya menyalahkan orang miskin secara pribadi malah makin memperkuat ketidakadilan. Padahal kalau dilihat baik-baik, orang miskin juga manusia yang gak pernah minta lahir dalam kondisi itu.
2. Pendidikan mengikat nasib bukan sekadar pilihan
Pendidikan sering dikatakan sebagai jalan keluar dari kemiskinan, tapi bagaimana bisa jadi solusi kalau akses dan kualitasnya beda jauh? Sekolah di daerah terpencil bisa kekurangan guru, fasilitas rusak, dan buku yang gak pernah diperbarui. Sementara sekolah elite punya jaringan luas, kurikulum lengkap, dan guru-guru terbaik. Orang miskin sudah kalah langkah sebelum sempat ikut lomba.
Banyak anak dari keluarga miskin harus putus sekolah bukan karena mereka malas, tapi karena harus bantu keluarga cari makan. Bisa juga anak-anak dari orang miskin harus sekolah sambil bekerja, sampai akhirnya kelelahan dan tertinggal pelajaran. Jadi ketika sistem pendidikan masih berat sebelah, menyalahkan mereka yang gagal lulus jadi sebuah bentuk ketidakadilan yang halus tapi tajam.
3. Negara menentukan aturan bukan individu yang mengendalikan
Kebijakan publik menentukan arah hidup masyarakat, apalagi kelompok rentan seperti orang miskin. Dari subsidi, jaminan sosial, sampai distribusi lahan dan akses kerja dan semuanya ditentukan dari atas. Kalau negara lebih memihak pada yang punya modal besar, maka yang kecil akan makin tenggelam. Sekali lagi, ini bukan soal kerja keras, tapi soal siapa yang dilindungi kebijakannya.
Banyak aturan dibuat tanpa melibatkan suara mereka yang terdampak langsung. Orang miskin hanya jadi angka statistik, bukan subjek kebijakan. Orang miskin gak punya ruang bicara, dan saat protes pun sering dianggap mengganggu. Ketika negara abai, yang tumbuh bukan keadilan tapi jurang ketimpangan yang makin dalam antara mereka yang bergelimang harta dan orang miskin.
4. Masyarakat membentuk narasi bukan fakta yang dipakai
Opini publik seringkali dibentuk dari cerita yang terus diulang, bukan dari fakta yang jujur. Di media, sinetron, atau obrolan harian, orang miskin digambarkan sebagai sosok pasrah, kurang usaha, atau selalu bikin masalah. Gambaran ini lama-lama dipercaya jadi sebuah kebenaran padahal gak semua orang miskin seperti itu.
Narasi ini bikin orang jadi cepat menghakimi, tanpa tanya dulu bagaimana latar belakangnya. Padahal banyak juga orang miskin yang kerja siang malam tapi tetap susah karena upah minim dan biaya hidup tinggi. Saat narasi sudah keliru dari awal, semua penilaian jadi bias yang mana hal itu sangat tidak adil bagi siapa pun yang sedang berjuang termasuk orang miskin.
5. Kapitalisme mengendalikan nilai, bukan moralitas yang menentukan
Kapitalisme modern membuat segalanya diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki. Orang yang punya banyak uang dianggap pintar, rajin, dan layak dihormati, sementara yang miskin dianggap gagal hidup. Sistem ini membentuk standar nilai yang melupakan empati, solidaritas, dan keadilan sosial dalam masyarakat.
Ketika uang jadi ukuran moral, maka orang gak punya dianggap buruk, kotor, hina dan rendahan meski kenyataannya mereka hanya kalah dalam sistem yang gak menguntungkan mereka. Banyak orang baik yang hidup miskin karena menolak korupsi atau terjerumus sistem curang, tapi malah mereka yang dianggap beban dalam masyarakat. Jadi bukan orang miskin yang harus dibenci, tapi cara berpikir dan sistem yang membuat kemiskinan itu terus bertahan.
Benci orang miskin sama saja dengan menembak korban, bukan pelakunya. Selama kita terus menyalahkan individu dan lupa bahwa sistemlah yang lebih besar dan lebih licik, maka ketidakadilan akan terus jadi siklus yang gak pernah putus. Mulailah ubah cara pandang, bukan menambah luka yang sudah dalam karena orang miskin bukan musuhmu, tapi korban dari 'permainan' sistem yang gak pernah adil sejak awal.