Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Wanita!

Intinya sih...
- RA Kartini, tokoh emansipasi wanita terkemuka di Indonesia, lahir pada 21 April 1879 di Jepara dari keluarga bangsawan Jawa.
- Kartini memulai pendidikan di sekolah Eropa dan terus belajar mandiri setelah masa pingitan, menyadari pentingnya kesetaraan hak perempuan dalam akses pendidikan.
- Meskipun wafat pada usia 25 tahun, semangat perjuangan Kartini terus hidup dan menginspirasi perjuangan kesetaraan perempuan hingga kini.
RA Kartini adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah perjuangan perempuan di Indonesia. Namanya tak hanya dikenang sebagai simbol kebangkitan kesadaran perempuan terhadap hak, pendidikan, dan kesetaraan, tetapi juga sebagai inspirasi yang relevan hingga saat ini.
Keberanian melawan keterbatasan zaman, semangat belajar yang tak padam, serta dedikasi tinggi untuk memajukan kaum perempuan, menjadi kisah inspiratif yang harus digaungkan. Berikut ini biografi RA Kartini sang pejuang emansipasi wanita.
1. Asal usul dan latar belakang keluarga
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah dari keluarga bangsawan Jawa. Sejak kecil, ia hidup dalam lingkungan yang menjunjung tinggi adat dan tradisi, yang kemudian membentuk cara pandangnya terhadap pendidikan dan peran perempuan dalam masyarakat.
Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah Bupati Jepara dan keturunan Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Garis keturunannya terhubung dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VI hingga Kerajaan Majapahit, yang memberikan Kartini akses terhadap pendidikan dasar yang langka bagi perempuan saat itu.
Sementara itu, ibunya, M.A. Ngasirah, berasal dari kalangan biasa dan merupakan anak seorang kiai di Telukawur, Jepara. Latar belakang keluarga yang berbeda ini memberikan Kartini sudut pandang luas tentang ketimpangan sosial, termasuk ketidakadilan yang kerap dialami kaum perempuan.
Meski terlahir dari keluarga terpandang, Kartini tetap terikat pada aturan adat yang membatasi kebebasan perempuan, termasuk masa pingitan di usia muda. Namun, justru dari keterbatasan itu tumbuh kesadaran dalam dirinya akan pentingnya kesetaraan, khususnya dalam pendidikan dan kebebasan berpikir, yang jadi awal perjuangannya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
2. Riwayat pendidikan
Kartini memulai pendidikannya di Europesche Lagere School (ELS), sekolah dasar khusus anak-anak Eropa dan kalangan bangsawan. Di sana, ia mempelajari berbagai pelajaran dasar, termasuk bahasa Belanda, yang kelak membantunya mengakses berbagai bacaan dan memperluas wawasannya tentang dunia luar.
Sayangnya, pendidikan formalnya harus terhenti saat usianya menginjak 12 tahun karena adat pingitan yang mengharuskan anak perempuan tetap tinggal di rumah hingga menikah. Meski tidak lagi bersekolah, Kartini terus belajar secara mandiri. Ia membaca buku, majalah, dan surat kabar berbahasa Belanda yang ia peroleh dari sahabat-sahabat penanya di Eropa.
Melalui bacaan dan surat-menyurat tersebut, Kartini semakin peka terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan pribumi, terutama dalam akses terhadap pendidikan. Ia pun menyadari bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk membebaskan perempuan dari keterbelakangan dan penindasan. Dari situlah, tumbuh semangatnya untuk memperjuangkan kesetaraan hak bagi kaumnya.
3. Perjuangan RA Kartini
Pada masa Kartini hidup, perempuan pribumi masih terikat kuat oleh tradisi yang membatasi kebebasan mereka untuk berpikir dan berkembang. Perbedaan yang ia amati antara kehidupan perempuan di Eropa dan di tanah air, membangkitkan semangatnya untuk memperjuangkan kesetaraan. Ia memulai perjuangannya lewat tulisan, seperti artikel Upacara Perkawinan Suku Koja yang dibuat saat usianya baru 16 tahun.
Pemikirannya yang tajam juga dituangkan dalam majalah De Hollandsche Lelie, yang kemudian menarik perhatian para intelektual Belanda. Namun, perjuangan Kartini tidak berhenti sampai di tulisan. Ia percaya bahwa pendidikan adalah pintu menuju perubahan, terutama bagi perempuan yang selama ini tak memiliki akses setara.
Setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini tetap teguh memperjuangkan cita-citanya. Ia mengajukan syarat agar tetap bisa mengajar dan menolak upacara pernikahan yang menempatkan perempuan dalam posisi lebih rendah sebagai bentuk perlawanan terhadap tradisi yang tidak adil.
Sekolah yang ia dirikan di Rembang jadi bukti nyata komitmennya terhadap pendidikan perempuan. Meski usianya tak panjang, semangat Kartini tak padam. Gagasan dan perjuangannya terus hidup. Salah satunya melalui pendirian Sekolah Kartini di Semarang oleh Van Deventer pada 1912. Sekolah ini kemudian berkembang ke berbagai kota, membawa semangat emansipasi yang Kartini perjuangkan melintasi generasi.
4. Akhir hayat
Perjalanan hidup RA Kartini berakhir di usia muda, tepatnya pada 17 September 1904, hanya beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya. Di usia 25 tahun, Kartini telah meninggalkan jejak perjuangan besar bagi kaum perempuan. Ia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah, tempat yang kini menjadi bagian dari sejarah perjuangannya.
Meskipun waktunya singkat, pemikiran dan semangat Kartini tak pernah padam. Setelah kepergiannya, surat-surat yang ia tulis kepada sahabat-sahabatnya di Eropa dikumpulkan dan diterbitkan oleh J.H. Abendanon dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Karya ini menjadi simbol pemikiran Kartini yang terus menginspirasi perjuangan perempuan Indonesia hingga kini.
Sebagai bentuk penghargaan, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada RA Kartini melalui Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964. Tak hanya itu, tanggal lahirnya, 21 April, juga diperingati sebagai Hari Kartini setiap tahun sebagai wujud penghormatan atas jasanya yang tak ternilai dalam membuka jalan kesetaraan bagi perempuan Indonesia.
Perjuangan RA Kartini meninggalkan jejak abadi dalam perjuangan pendidikan dan kesetaraan perempuan. Semangatnya terus menginspirasi dan melalui peringatan Hari Kartini, kita diajak untuk melanjutkan cita-citanya mewujudkan masyarakat yang adil dan setara.