Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Buku Menggugah tentang Perang Saudara Lebanon, Menarik Dibaca!

buku An Unnecessary Woman (instagram.com/bookstana)

Perang Saudara Lebanon (1975–1990) adalah masa kelam yang meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat. Perang ini menyisakan trauma yang terus membayangi kehidupan mereka. Banyak penulis Lebanon yang mencoba menggambarkan kompleksitas, kekacauan, dan efek psikologis dari konflik ini melalui karya sastra.

Novel-novel tersebut tidak hanya merekam kejadian-kejadian bersejarah, tetapi juga memotret ketangguhan mereka di tengah perang. Lewat sudut pandang yang berbeda-beda, setiap buku berikut ini membawa kita menyelami realitas pahit yang dihadapi masyarakat Lebanon pada masa itu.

1. An Unnecessary Woman – Rabih Alameddine (2013)

buku An Unnecessary Woman (rabihalameddine.com)

Novel menceritakan seorang perempun berusia 72 tahun yang hidup sendirian di apartemennya di Beirut. Aaliya terasing dari keluarganya dan memilih untuk hidup mandiri. Ia memiliki pandangan yang tajam dan sering kali humoris tentang dunia sekitarnya. Dirinya pun menjalani hidup sesuai aturannya sendiri, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain.

Dengan latar perang saudara Lebanon, novel ini menampilkan pengalaman personal Aaliya yang diwarnai oleh kenangan akan konflik dan kesendirian. Melalui pandangan dan kehidupan Aaliya, Alameddine menggambarkan bagaimana orang-orang di Beirut berjuang menjaga martabat dan kesadaran diri mereka di tengah masa sulit.

2. Leaving Beirut – Mai Ghoussoub (1998)

buku Leaving Beirut (saqibooks.com)

Mai Ghoussoub mengeksplorasi pengalaman pribadinya tentang perang Lebanon melalui campuran memoar dan fiksi. Buku ini disajikan dalam bentuk surat kepada mantan gurunya di Beirut. Ia mengingat kembali masa mudanya yang terenggut karena peperangan. Seperti sebagian orang, dirinya memilih melupakan masa lalu yang kelam demi bisa melanjutkan hidup.

Buku ini menghadirkan kisah nyata dan imajinasi tentang orang-orang di Beirut saat perang. Ghoussoub, yang juga merupakan aktivis hak asasi manusia dan pendiri Saqi Books, menawarkan pandangan unik tentang bagaimana dampak perang masih membayangi masyarakat Lebanon hingga hari ini.

3. Beirut Fragments: A War Memoir – Jean Said Makdisi (1990)

buku Beirut Fragments: A War Memoir (perseabooks.com)

Jean Said Makdisi, lahir di Yerusalem dan besar di Kairo, lalu pindah ke Beirut pada 1972 bersama suaminya. Beberapa tahun setelah itu, perang saudara pecah dan ia mulai mengalami dampaknya. Memoar ini mencatat kisahnya dalam menghadapi perang, dari kesulitan membesarkan anak hingga mencoba menjalani kehidupan normal di tengah kekacauan yang tak ada habisnya.  

Melalui pengalaman pribadinya, ia mengungkapkan rasa cintanya yang mendalam terhadap Beirut, meskipun kota tersebut dirusak oleh intoleransi dan kebencian. Buku ini adalah penghargaan kepada mereka yang berjuang untuk bertahan hidup di tengah kehancuran, sekaligus catatan penting tentang sejarah yang jarang dibicarakan.

4. Little Mountain – Elias Khoury (1977)

buku Little Mountain (macmillan.com)

Little Mountain mengisahkan seorang pemuda yang tumbuh di lingkungan Ashrafiyya di Beirut Timur yang disebut sebagai “Gunung Kecil.” Elias Khoury menciptakan cerita yang melompat antara kenangan masa kecil, kehidupan para pejuang, hingga pengalaman pahit di masa dewasa saat perang mulai mencabik-cabik tanah kelahirannya.

Khoury menggunakan narasi yang terfragmentasi, seolah memisahkan dan mengulang kenangan dalam setiap babnya untuk menambah nuansa mimpi dan ketidakpastian. Struktur novel yang melompat-lompat ini menggambarkan betapa kompleks dan abu-abunya kehidupan di tengah peperangan, di mana garis antara yang benar dan salah tak lagi jelas.

5. The Penguin's Song – Hassan Daoud (1998)

buku The Penguin’s Song (goodreads.com)

The Penguin’s Song mengikuti keluarga yang harus mengungsi dari Beirut yang dilanda perang. Mereka pindah ke apartemen kecil dan kehidupannya pun berubah drastis. Narator, merupakan anak laki-laki yang berjalan seperti penguin karena kelainan fisik, menceritakan penurunan mental dan emosional keluarganya di tempat tinggal yang semakin terasa seperti penjara.

Keluarga ini harus menghadapi kehancuran emosional yang diakibatkan oleh kenangan pahit dari masa lalu. Hassan Daoud menggambarkan bagaimana perang tidak hanya menghancurkan fisik tapi juga jiwa manusia. Novel ini mengilustrasikan perang sebagai penyakit yang secara perlahan tapi pasti, menghancurkan siapa pun yang terjebak di dalamnya.

Membaca buku-buku di atas mengingatkan kita akan dampak perang yang terus menghantui masyarakat Lebanon hingga kini. Melalui kisah-kisah ini, kita tidak hanya diajak melihat sisi kelam dari perang, tetapi juga keberanian dan semangat yang tak pernah padam dalam menghadapi trauma.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us