Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
pasangan
ilustrasi pasangan (pexels.com/Hamasa Picturia)

Intinya sih...

  • Dorongan keluarga sangat berpengaruh dalam menentukan besaran mahar

  • Calon pengantin merasa memiliki high value dan ingin menguji keseriusan pasangan

  • Mahar yang tinggi bisa menjadi antisipasi masa depan dan cara halus untuk menolak pernikahan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ada banyak sekali persiapan jika kamu ingin menikah. Selain persiapan fisik karena rangkaian prosesnya melelahkan, juga persiapan psikis sampai finansial. Sesederhana apa pun konsep pernikahanmu nanti, biasanya tetap ada mahar atau maskawin.

Di banyak daerah terdapat sebutan yang berbeda-beda untuk mahar. Nominalnya juga beragam. Ada calon pengantin yang cuma minta sedikit mahar, seperti ratusan ribu atau satu juta rupiah.

Ada juga maskawin yang mencapai puluhan juta hingga miliaran rupiah dalam berbagai bentuk. Seperti emas, kendaraan mewah, dan sebagainya. Kira-kira, kenapa calon pengantin minta mahar yang tinggi? Mari cari tahu biar dapat menjadi pertimbanganmu kalau hendak melakukan negosiasi.

1. Dorongan keluarga

ilustrasi pasangan (pexels.com/Ruly Nurul Ihsan)

Calon pengantin biasanya tidak memutuskan sendiri besaran maharnya. Sekalipun dia yang akan berumah tangga, peran keluarga sangat besar. Bahkan kadang bukan cuma orangtuanya yang terlibat, melainkan juga keluarga besar.

Mungkin calon mempelai sendiri lebih suka maskawin yang meringankan pasangannya. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat banyak jika keluarga sepakat menghendaki nilai yang fantastis. Apabila dirimu ingin bernegosiasi, gak cukup cuma dengan pasanganmu.

2. Merasa punya high value

ilustrasi pasangan (pexels.com/Rizki Koto)

High value yang dimaksud misalnya, latar belakang pendidikan dan pekerjaannya bagus. Tentu dia serta keluarganya merasa harus ada mahar yang pantas buat siapa pun bisa menikahinya. Sebab dengan high value tersebut, kemungkinan besar hidup bersamanya juga mengerek kehidupan pasangannya.

3. Menguji keseriusan calon pasangannya

ilustrasi pasangan (pexels.com/Shisi Rizky)

Besaran maskawin terkadang juga dipakai sebagai ujian terakhir buat calon pasangan. Bisa gak dia memenuhi permintaan tersebut? Kalau mahar yang berat pun tetap disanggupi, pasangan menilainya sebagai bukti keseriusan cinta.

Dia gak mau menyerah di detik-detik terakhir sekalipun mesti berjuang mengumpulkan atau melepas banyak uang. Pasangan serta keluarganya menjadi lebih mantap. Kalau maskawin terlalu rendah, orang yang cuma ingin main-main dengan pernikahan pasti senang bukan kepalang.

4. Biar tidak diperlakukan sembarangan

ilustrasi pasangan (pexels.com/Danu Hidayatur Rahman)

Nyambung ke penjelasan sebelumnya. Mahar yang sedikit atau rendah memang memudahkan niat orang buat menikah. Akan tetapi, bagaimana setelahnya? Apalah ada jaminan seseorang tetap berbuat baik pada pasangannya?

Ada kekhawatiran maskawin yang gampang dipenuhi bikin orang juga menggampangkan pasangannya. Beberapa orang memandang pasangannya yang menetapkan mahar ringan seperti barang. Karena harganya murah dianggap pantas disia-siakan.

5. Menilai dari pekerjaan dan keluarga calon pasangannya pasti mampu

ilustrasi pasangan (pexels.com/Yusron El Jihan)

Mungkin jika calon pasangan serta keluarganya hidup pas-pasan, seseorang juga gak tega meminta mahar tinggi-tinggi. Apalagi mereka sudah lama berhubungan. Artinya, pihak yang berhak menentukan mahar telah mampu menerima pasangannya dengan apa adanya.

Lain dengan jika pekerjaan serta latar belakang keluarganya memang bagus. Nilai maskawin yang besar dianggap paling pas. Kalau kekecilan, nanti malah pasangan dan keluarganya yang keberatan atau merasa diremehkan. Seolah-olah mereka tidak mampu memberi mahar yang lebih gede.

6. Cara halus untuk menolak

ilustrasi pasangan (pexels.com/Baarast Project)

Maskawin yang bikin kepala pusing tujuh keliling perlu dilihat lebih cermat. Boleh jadi itu tidak murni mahar sebagai tanda seseorang siap dinIkahi. Akan tetapi, justru melalui angka yang memberatkan itu seseorang sebetulnya ingin menolak pernikahan.

Dia berharap nilai maskawin yang begitu besar bikin gentar orang yang sudah melamarnya. Kalau benar permintaan itu dimaksudkan supaya seseorang mundur teratur, pasti sama sekali tidak ada kesempatan untuk negosiasi. Pilihan yang diberikan cuma dua, penuhi atau batalkan rencana pernikahan.

7. Sifatnya matre

ilustrasi pasangan (pexels.com/Febry Arya)

Tentu sifat seperti ini paling tidak diharapkan dalam hubungan. Namun, terkadang memang ada orang yang memanfaatkan kesempatan menetapkan mahar buat menyalurkan sifat matrenya. Orang begini biasanya malah gak terlalu memikirkan siapa calon pasangannya.

Terpenting ia dapat memenuhi permintaan mahar itu. Cinta atau watak yang baik bukan lagi prioritas. Tercapainya maskawin yang diharapkan lebih penting. Baginya, tanpa cinta pun hubungan masih dapat dijalani asal materi terpenuhi.

8. Antisipasi masa depan

ilustrasi pasangan (pexels.com/Vija Rindo Pratama)

Beberapa orang sengaja bikin mahar setinggi mungkin buat mengantisipasi berbagai hal di masa depan. Misalnya, pasangannya kehilangan pekerjaan, sakit keras, atau wafat. Uang atau barang mahal yang dulu dijadikan mahar diharapkan dapat menjadi dana darurat.

Begitu pula kalau ternyata pasangan melepaskan tanggung jawab menafkahi hingga berujung cerai. Adanya maskawin yang fantastis dapat menyelamatkan hidupnya beserta anak-anak. Jika uang maharnya kecil, buat menyewa rumah sebulan saja mungkin gak bisa.

Soal maskawin harus dibicarakan baik dengan pasangan maupun keluarga masing-masing. Meski di awal calon pengantin minta mahar yang tinggi, mungkin saja seseorang serta keluarganya dapat berubah pikiran. Sebaliknya, pihak yang menetapkan mahar jangan punya niat buruk sedikit pun di balik nilainya yang gede.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team