Reza Riyady Pragita survei untuk program Sumber Air untuk Sesama (SAUS). (instagram.com/rezariyadyid)
Menjalankan SAUS bukan tanpa rintangan. Masalah utama yang ia dapatkan ialah bagaimana mencari sumber air dan menyalurkannya ke Desa Ban. Reza mengingat pengalaman dirinya terluka saat survei menelusuri sumber air lewat jalan setapak.
“Itu [sumber air] ternyata sudah pernah juga diteliti sama organisasi sebelumnya, tapi gak saya sebutkan, ya. Terus juga sama katanya kerja sama sama dinas lingkungan. Jadi sudah dicek bahwa ternyata air ini layak digunakan, setidaknya untuk mandi.” tuturnya.
Perjalanan Reza untuk membangun bak penampungan air tak mudah. Menurutnya, tantangan terbesarnya ialah komitmen diri sendiri dan tim. Banyak orang yang punya ide besar, tapi tidak berani memulai atau menyelesaikannya. Reza harus memastikan semua langkah terencana dengan baik, mulai dari riset sumber air, membangun kolaborasi dengan masyarakat, hingga menggalang dana melalui platform donasi, seperti Kitabisa.
Keterbatasan pendanaan juga menjadi ujian. Saat kampanye penggalangan dana di Kitabisa, donasi stagnan pada angka Rp2,8 juta. Reza merasa terpuruk karena khawatir proyek tidak bisa berjalan. Namun, melalui keajaiban jejaring sosial, ia mendapat donasi dari Medan mencapai Rp28–30 juta. Dana ini cukup untuk membangun bak penampungan dan sisanya untuk sembako yang dibagikan saat peresmian. Baginya, ini seperti mukjizat. Keajaiban ini menjadi bukti bahwa niat baik yang tulus akan menemukan jalan.
Selain itu, keterbatasan teknis menjadi tantangan lain. Reza bukan ahli teknik sipil atau lingkungan sehingga pembangunan fasilitas harus mengandalkan kolaborasi dengan pihak lokal, termasuk kepala desa dan kelian adat. Dukungan pemerintah daerah terbatas sehingga keberhasilan program sangat bergantung pada pemimpin desa dan donatur luar.