Dalam dunia dakwah, humor atau guyonan sering digunakan oleh para ulama atau tokoh agama untuk menarik perhatian audiens, mencairkan suasana, atau menyampaikan pesan dengan cara yang lebih ringan dan mengena. Namun, penggunaan humor dalam dakwah juga tidak lepas dari kontroversi, seperti yang terjadi baru-baru ini terkait pernyataan Miftah Maulana yang mengundang kritik setelah video interaksinya dengan pedagang es teh menjadi viral.
Miftah Maulana, seorang ulama yang juga sekaligus Utusan Khusus Presiden Prabowo Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan yang dikenal karena gaya dakwahnya yang santai dan menghibur, mendapat kecaman publik karena mengucapkan kata-kata yang dianggap menghina pedagang es teh dalam acara Magelang Bersholawat. Ucapan tersebut memicu reaksi keras dari warganet yang merasa bahwa humor tersebut tidak pantas dan dapat merendahkan martabat orang lain, khususnya mereka yang bekerja keras untuk mencari nafkah.
Gurauannya dianggap melewati batas oleh banyak warganet sehingga memunculkan perdebatan seputar humor dalam dakwah dan batasan etika komunikasi seorang ulama. Lantas, bagaimana seharusnya penggunaan humor yang tepat dalam syiar atau dakwah? Apakah humor bisa dilihat sebagai intermezzo yang menghibur atau malah bertentangan dengan marwah seorang penceramah yang bertujuan menebarkan dakwah untuk memberi pencerahan kepada jamaah?