Bicara Pendidikan dengan Diah Widuretno, Pendiri Sekolah Pagesangan 

perjalanan inspiratif menemukan makna pendidikan

Sistem pendidikan formal saat ini terasa berjarak dan kurang menjawab permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat di Desa Girimulyo. Pelajaran sekolah yang disampaikan oleh guru tak terlalu relevan dengan persoalan sehari-hari di desa tersebut.

Tampaknya sistem pendidikan formal bukan solusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa Girimulyo yang hidup di perbukitan kars. Mereka memiliki akar budaya yang berbeda dari pelajar di perkotaan sehingga membutuhkan pendidikan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.  

Namun, modernisasi menuntut perubahan di berbagai unsur kehidupan masyarakat. Terbukanya akses mobilisasi dari desa ke kota meningkatkan laju urbanisasi bagi pemuda di usia produktif. Akibatnya, berbagai permasalahan sosial muncul. 

Lalu, bagaimana Sekolah Pagesangan membantu memberikan jawaban atas berbagai permasalah tersebut? Interview bersama Diah Widuretno, pendiri Sekolah Pagesangan pada Rabu (23/3/2022) akan membahas lebih jauh pendidikan dalam permasalahan sosial, khususnya bagi masyarakat desa. 

1. Mengenal lebih dekat Sekolah Pagesangan

Bicara Pendidikan dengan Diah Widuretno, Pendiri Sekolah Pagesangan Diah Widuretno. (instagram.com/widuretnodiah)

Sekolah ini berdiri di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Gunungkidul, Yogyakarta sejak tahun 2008. Lanskap berbukit dengan sebagian besar kawasan kars membuat tanah di Desa Wintaos jadi kurang subur. Masyarakat di sana bertani dengan adopsi sistem polikultur.

Kondisi ini yang membuat pertanian sangat dekat dengan realitas di Desa Girimulyo. Bagi Diah, ada perjalanan panjang untuk mengenal lebih dalam kondisi sosial dan budaya masyarakat di Dusun Wintaos sebelum akhirnya menginisiasi Sekolah Pagesangan dengan sistem pendidikan kontekstual. 

Pendidikan kontekstual, di mana kegiatan belajar mengajar disesuaikan dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh komunitas, jadi upaya yang diharapkan bisa jadi solusi untuk permasalahan di dusun tersebut. Proses belajar mengajar berjalan secara informal dan tak ada istilah guru dan murid, Diah memosisikan dirinya sebagai teman belajar bagi anggota komunitas. 

2. Sekolah Pagesangan berawal dari keresehan mengenai Diah terhadap realitas pendidikan

Bicara Pendidikan dengan Diah Widuretno, Pendiri Sekolah Pagesangan Diah Widuretno. (instagram.com/sekolahpagesangan)

Sekolah Pagesangan pada awalnya diinisiasi dari keresahan Diah melihat sistem pendidikan formal yang malah justru memproduksi kemiskinan. Pendidikan kehilangan koneksi dengan budaya setempat, namun tak pernah kehilangan link dengan kebutuhan industri.

"Jadi sebenernya saya sudah merasa gelisah terkait pendidikan. Awalnya kegelisahan itu lebih ke 'Mengapa kok pendidikan itu justru menciptakan kesenjangan?' gitu ya. Itu kegelisahan saya waktu di tahun-tahun awal. Maksudnya menciptakan kesenjangan, ya hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, sementara kalangan menengah ke bawah yang tidak memiliki akses ke pendidikan tinggi (maksudnya kesenjangan itu kesenjangan di pendidikan tinggi) itu justru akan menciptakan kemiskinan baru," tutur Diah.

Dari kesenjangan tersebut, muncullah kemiskinan struktural. Orang-orang yang punya akses terbatas terhadap pendidikan tinggi, akan melahirkan anak-anak dalam kondisi kemiskinan yang nantinya juga tak bisa mengakses pendidikan yang layak. 

Tak sampai di situ, Diah juga merasa pendidikan di perkotaan tidak ramah bagi orang desa karena tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Apa yang dipelajari di bangku sekolah, kerap tak sesuai dengan realita di lapangan.

"Akhirnya kegelisahan saya yang kedua terkait pendidikan itu adalah mencari bagaimana model pendidikan yang relevan, pendidikan yang relevan dengan kehidupan sehari- hari. Itu kegelisahan saya yang kedua. Pendidikan yang menjawab persoalan, 'Bagaimana sih sebenernya pendidikan yang seharusnya ada dan seharusnya menjawab persoalan komunitas?'"

Dari situlah gagasan Sekolah Pagesangan terus berkembang. Ia menyadari bahwa setiap daerah memiliki kebutuhan berbeda terhadap pendidikan. Oleh karenanya, diharapkan ada sekolah yang materi dan model pembelajarannya lebih menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan komunitas.

3. Pendidikan seharusnya memberdayakan manusia

Bicara Pendidikan dengan Diah Widuretno, Pendiri Sekolah Pagesangan Diah Widuretno. (instagram.com/sekolahpagesangan)
dm-player

Di era modern ini, hubungan manusia dengan uang menjadi semakin akrab, namun rasa kemanusiaan kian memudar. Sekolah jadi cara industri mendapatkan tenaga kerja yang mudah dan murah. Karenanya, sekolah dirancang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan orientasi mendapatkan pekerjaan. 

"Sistem pendidikan kita itu, menurut saya, sudah banyak kehilangan link. Link itu jembatan ya, hubungan, koneksi dengan kebudayaan. Tapi, tidak pernah kehilangan link dengan industri. Jadi, sekolah atau pendidikan (dalam hal ini pendidikan formal) itu tidak tidak pernah kehilangan link, tidak pernah kehilangan hubungan dengan industri," tutur Diah. 

Menurut Diah, pendidikan seharusnya memberdayakan manusia. Sebab, manusia punya jati diri, kebebasan berpikir, dan seharusnya dapat terlepas dari orientasi mencetak generasi yang dibutuhkan industri. 

Sehubungan dengan hal tersebut, Diah kembali menjelaskan, "Bahwasanya yang sebenarnya, tujuan pendidikan itu untuk membangun pemberdayaan, kemandirian di diri kita. Keberdayaan berpikir, keberdayaan finansial, pokoknya menjadi manusia yang berdaya. Itu sebenernya inti dari proses pendidikan."

Pandangan itulah yang diadaptasi Diah menjadi landasan pendidikan di Sekolah Pagesangan, di mana pendidikan merupakan proses berpikir menuju pemberdayaan manusia dan tidak membuat pelajar kehilangan akar budayanya. 

4. Persoalan pendidikan yang muncul di desa

Bicara Pendidikan dengan Diah Widuretno, Pendiri Sekolah Pagesangan Diah Widuretno. (instagram.com/widuretnodiah)

Sejatinya, masyarakat Desa Girimulyo memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga melalui kegiatan bertani. Namun, modernisasi menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat desa.

Terbukanya akses mobilisasi dan informasi memungkinkan masyarakat untuk saling berinteraksi dengan orang-orang di perkotaan. Hal ini menciptakan gambaran mengenai kesejahteraan yang disimbolisasikan dengan keberadaan materi dan kehidupan yang nyaman. 

"Jadi dalam imajinasi orang desa dengan berlimpahnya materi, dengan fasilitas yang dimiliki oleh orang-orang kota, tampaknya mereka lebih bahagia dan sejahtera walaupun itu semu. Itu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana proses belajar, proses pendidikan membangun mereka punya image. Jadi selalu di sekolah-sekolah, misalnya kesuksesan itu simbolisasinya adalah memiliki simbol-simbol materi," kata Diah. 

Hal ini tak bisa terlepas dari orientasi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan industri atau mendapat pekerjaan. Dorongan anak muda untuk meninggalkan desa dan menjadi tenaga kerja menjadi lebih masif. 

5. Harapannya, Sekolah Pagesangan dapat menjadi wadah untuk terus belajar

Bicara Pendidikan dengan Diah Widuretno, Pendiri Sekolah Pagesangan Diah Widuretno. (IDN Times/Holy Kartika)

Di awal berdirinya Sekolah Pagesangan, Diah mengalami banyak tantangan terutama untuk meyakinkan orang-orang di Desa Girimulyo. Konsep pendidikan kontekstual masih terdengar asing untuk masyarakat desa tersebut. 

"Buat saya, tantangan terbesar itu malah justru bagaimana membangun komunikasi di internal desa sendiri. Artinya, ini kan gagasan baru. Membangun sekolah dengan visi membangun pemberdayaan, sangat berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya yang dibayangkan oleh orang pada umumnya, termasuk masyarakat desa," terang Diah.

Sekolah Pagesangan terus berproses dan tumbuh menjadi komunitas yang mewadahi kebutuhan orang-orang di dalamnya. Perubahan bagi anggota komunitas adalah hasil dari proses belajar bersama. 

"Nah, saya mengharapkan Sekolah Pagesangan gak hanya ada selama saya terus berjalan. Keberhasilan saya ketika ini terus menjadi pekerjaan yang sudah menjadi kebutuhan dari temen-temen sehingga ini dikelola selamanya, sampai ini gak dibutuhkan lagi," tutup Diah.

Perjalanan Diah belajar dan berproses di Sekolah Pagesangan agaknya menjadi inspirasi kita untuk berorientasi pada pendidikan yang memberdayakan manusia. Sebab, manusia memiliki kreativitas dan daya pikir yang kritis, bukan mesin atau alat produksi. 

Baca Juga: Kisah Nathalie Indry, si Pendiam yang Mendobrak Diri Jadi Penyiar

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya