al quran yerusalem (pixabay.com/hmzasefaa)
Pada doa versi pertama, kedudukan hadis yang digunakan sebagai rujukan berasal dari hadis dhaif (hadis lemah), sedangkan doa versi kedua berasal dari hadis hasan (hadis yang tingkatannya berada di bawah hadis shahih).
Para ulama besar memperbolehkan mengamalkan hadis hasan, sepanjang hadis tersebut tidak menimbulkan perselisihan pendapat di antara para ulama. Merujuk pada pendapat tersebut, maka doa buka puasa versi pertama boleh untuk diamalkan.
Berdasarkan pendapat Imam an-Nawawi, Ibnu Daqiq al-‘Id, ash-Shan’ani, Syeikh Ibnu Baz, dan beberapa ulama besar lainnya, diperbolehkan mengamalkan hadis dhaif dalam perkara fadha’il al-a’mal (keutamaan-keutamaan akhlak), mau’idzah (pengajaran), kisah-kisah, dan targhib wa tarhib (metode atau cara yang digunakan untuk meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah SWT).
Pendapat tersebut berlaku dengan syarat hadis tersebut masih berada dalam cakupan kaidah umum dalam syariat, bukan hadis yang sangat lemah, dan tidak mengamalkannya dengan keyakinan bahwa itu merupakan hadis yang benar-benar berasal dari nabi, melainkan mengamalkan dengan tujuan berjaga-jaga jika itu dari nabi.
Berdasarkan pendapat di atas, doa berbuka puasa versi kedua boleh diamalkan karena memenuhi beberapa syarat, yaitu termasuk dalam kategori fadha’il al-a’mal, tidak mengandung sesuatu yang menyalahi syariat, dan pengamalan doa yang masih dalam lingkup hadis shahih yang mencantumkan keutamaan doa berbuka puasa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa hingga ia berbuka, doanya pemimpin yang adil, dan doanya orang yang terzalimi” (HR. Tirmidzi: 3598, Ibnu Majah: 1752, Ibnu Hibban: 2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi).