Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Eklin dan Dodi di Bandar Neira, Maluku. (instagram.com/kak_eklin)

Namanya Eklin Amtor de Fretes atau akrab disapa Kak Eklin, seorang pendeta asal Ambon, Maluku, beberapa tahun ke belakang aktif berkeliling untuk mendongeng. Bersama dengan Dodi, si boneka yang jadi sahabat setia, Eklin menyambangi balai desa, lapangan, hingga rumah ibadah untuk membagikan cerita. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dapat dengan mudah menikmati berbagai dongeng yang Eklin bawakan.

Dalam tiap dongeng yang dibawakannya, Eklin punya satu misi khusus yang harus bisa ia sampaikan kepada para penonton. Cerita-cerita yang dibawakan Eklin selalu memiliki pesan persatuan dan keterbukaan yang diharapkan dapat dipahami oleh penontonnya. Menurutnya, isu disintegrasi dan segregasi merupakan hal yang sangat berbahaya serta penting untuk dihapuskan dari tanah Maluku.

Berkat pengabdiannya yang telah dilaksanakan selama beberapa tahun ke belakang, Eklin meraih penghargaan SATU Indonesia Award kategori pendidikan dari Astra Indonesia pada 2020 silam. Penasaran bagaimana kisah di balik pengabdian seorang Eklin Amtor de Fretes dalam memperjuangkan Maluku yang lebih inklusif? Yuk, simak ulasan lengkapnya!

 

1. Awali gerakan dengan berbagai program dan pemikiran

Eklin bersama dengan tiga orang pengurus Taman Baca Jemaat GPM Bebar Timur, Pulau Banda, Maluku. (instagram.com/kak_eklin)

Mulanya, Eklin mendirikan sebuah program bertajuk Youth Interfaith Peace Camp pada 2017. Program tersebut ia tujukan untuk membagikan nilai-nilai perdamaian dengan cara-cara yang kreatif berdasarkan kehidupan sehari-hari. Oleh karena misinya untuk menyatukan Maluku, program Youth Interfaith Peace Camp yang ia gagas itu menaungi pemuda-pemuda lintas agama yang ingin bergabung dan berkontribusi dalam program tersebut.

"Saya kumpulkan teman-teman muda lintas iman dari berbagai agama, (semisal) agama Kristen, agama Katolik, agama Hindu, Islam, sampai suku atau agama (yang) di daerah Maluku disebut dengan agama (suku) Nuaulu," ujar Eklin ketika menceritakan asal-usul berdirinya Youth Interfaith Peace Camp.

Usai melaksanakan program tersebut secara mandiri, Eklin merasa kalau anak-anak juga perlu untuk diberikan pendidikan perdamaian. Meski demikian, Eklin punya keterbatasan untuk mengeksekusi hal tersebut. Ia tidak bisa mengerjakan semua kegiatan tersebut sendirian. Oleh karena itu, Eklin akhirnya mendirikan komunitas bernama Jalan Merawat Perdamaian (JMP).

"Teman-teman muda yang saya rekrut di dalam komunitas itu kita lalu bergerak untuk hal tersebut (memberikan pendidikan perdamaian untuk anak-anak)," ungkap Eklin.

Menurut Eklin, akar masalah segregasi yang terjadi di Maluku terjadi karena orangtua di sana masih sering menceritakan kisah-kisah konflik yang meletus pada 1999. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan pemikiran di masyarakat. Selain itu, akibat dari konflik yang telah terjadi di masa lalu, segregasi wilayah masih sangat terasa di Maluku. Hal ini dibuktikan dengan masih terpisahnya wilayah hidup antarumat beragama yang ada di daerahnya dengan sekat-sekat tertentu.

Dari masalah itu, Eklin menilai kalau anak-anak jadi salah satu kelompok yang paling rentan untuk terpengaruh cerita-cerita negatif tersebut. Oleh karenanya, ia berpikir kalau cerita-cerita negatif bisa dilawan dengan cerita-cerita yang positif. Dari pemikiran itulah, terlintas ide bahwa salah satu langkah terbaik untuk memberikan pendidikan perdamaian kepada anak-anak ialah melalui dongeng.

"Bagi saya, dongeng itu memiliki nilai-nilai yang baik yang dapat membuat perilaku atau budi pekerti anak-anak itu tumbuh lebih luhur. Dan di dalam dongeng itu, kita bisa mendidik anak-anak, mengajarkan anak-anak, tanpa harus menggurui," ucap Eklin ketika mengenang awal mula dirinya memiliki ide untuk mendongeng.

2. Menggunakan teknik ventrilokuisme untuk mendongeng

Editorial Team

Tonton lebih seru di