ilustrasi sakit (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Bentuk ghosting yang satu ini jadi yang paling menyedihkan. Kondisi ini terjadi ketika seseorang divonis kanker, lalu teman atau keluarga “menghilang” setelah mereka mendengar diagnosa tersebut.
Sebuah publikasi terbaru berjudul "A new side effect of cancer?" ( Fitch, 2025) menyoroti masalah yang berkembang ini, menyatakan bahwa 90 persen pasien kanker mengalami setidaknya satu orang yang menghilang dari mereka. Ocklenburg mengungkapkan, efek emosional ghosting ini sangat dalam. Pasien bisa merasa sedih, marah, bingung, kecewa, bahkan merasa malu atau ditinggalkan sama orang-orang terdekat.
Pada akhirnya, ghosting bukanlah fenomena yang hanya terjadi dalam hubungan romantis. Ia dapat muncul di persahabatan, lingkungan kerja, bahkan dalam situasi paling rentan seperti saat seseorang menghadapi penyakit serius.
Dampaknya pun gak bisa diremehkan, karena rasa ditinggalkan bisa sangat menyakitkan, tergantung pada kedekatan dan jenis hubungan yang terlibat. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa ghosting bukan sekadar “cara mengakhiri hubungan”, melainkan perilaku interpersonal yang dapat merusak ikatan sosial dan meninggalkan luka emosional jangka panjang. Dengan kesadaran ini, kita bisa lebih berhati-hati dalam menjaga komunikasi dan menghargai hubungan yang kita miliki.