Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bekerja (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi bekerja (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Intinya sih...

  • Pola pikir bekerja keras menjadi tren

  • Ajang pembuktian diri dan pencapaian

  • Dipengaruhi tekanan sosial dan rasa takut gagal

Pola pikir yang menekankan konsep bekerja keras memang dijadikan pedoman utama di era sekarang. Bahkan ini menjadi semacam tren yang mengambil alih kendali sudut pandang milenial dan gen z. Mereka cenderung bangga dengan tekanan bekerja keras sepanjang waktu tanpa adanya peluang untuk beristirahat.

Namun yang lebih menarik, kita perlu mencari tahu mengapa seseorang menormalisasi tren hustle culture. Apakah ini karena mengikuti fenomena yang sedang booming. Atau mungkin mereka memiliki alasan yang lebih logis dan realistis. Setidaknya, terdapat 5 hal yang menjadi penyebab mengapa seseorang normalisasi tren hustle culture.

1. Sebagai ajang pembuktian diri dan pencapaian

ilustrasi sosok kompetitif (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Setiap orang tidak jarang ingin membuktikan diri sebagai sosok yang berkualitas. Tentu saja ini dilakukan dengan berbagai cara. Tidak jarang mereka menekan diri secara berlebihan untuk bekerja keras sepanjang waktu. Bahkan tidak memberi waktu istirahat meskipun hanya sebentar.

Fenomena yang sering dijumpai di lingkungan sekitar ini ternyata menjadi penyebab seseorang menormalisasi tren hustle culture. Bekerja keras dijadikan sebagai ajang pembuktian akan suatu pencapaian yang dianggap bergengsi. Mereka mengartikan produktivitas sebagai kesibukan dan kerja keras tanpa henti.

2. Dipengaruhi oleh tekanan sosial dan lingkungan

ilustrasi perdebatan (pexels.com/Yang Krukov)

Hidup berdampingan dengan orang-orang di lingkungan sosial memang menjadi pengalaman unik. Seringkali kita dihadapkan dengan berbagai tekanan dan sudut pandang yang dijadikan sebagai standar utama. Jika tidak mampu mengontrol diri dari tuntutan standar tersebut, sudah tentu terjebak dalam perasaan tertekan dan terbebani.

Hal ini pula yang menjadi penyebab mengapa seseorang menormalisasi tren hustle culture. Tentu saja dipengaruhi oleh tekanan sosial dan lingkungan yang memegang kendali. Di lingkungan kerja atau sosial yang memuja keberhasilan materi dan prestasi, seseorang merasa harus ikut serta dalam perlombaan ini agar tidak tertinggal.

3. Rasa takut gagal atau kehilangan kesempatan

ilustrasi merasa gagal (pexels.com/Cottonbro studio)

Kegagalan. Setiap orang pasti pernah menghadapi fase ini dalam upaya meraih tujuan. Seringnya kegagalan menjadi pengalaman pahit yang memupus rasa percaya diri. Atau yang lebih buruk, seseorang sudah terlebih dulu merasa gagal atau kehilangan kesempatan.

Hal ini pula yang menjadi alasan seseorang menormalisasi tren hustle culture. Mereka terjebak dalam rasa takut gagal atau kehilangan kesempatan. FOMO (Fear of Missing Out) terhadap peluang sukses membuat banyak orang terus bekerja meskipun sudah kelelahan. Mereka takut kehilangan momentum jika tidak terus produktif.

4. Kurangnya pemahaman tentang batasan

ilustrasi bekerja (pexels.com/Tiger Lily)

Siapa yang tidak kenal dengan tren hustle culture? Bekerja keras tanpa henti dijadikan sebagai tujuan utama. Apalagi untuk orang-orang yang memang gila produktivitas. Bahkan mereka tidak memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk istirahat meski hanya sejenak.

Saatnya kita mencari tahu lebih jauh mengapa seseorang menormalisasi tren hustle culture. Salah satu yang paling berperan adalah tidak memahami tentang batasan. Banyak orang belum dibekali pengetahuan tentang pentingnya istirahat, pemulihan mental, dan work-life balance. Bekerja keras dianggap sebagai satu-satunya patokan produktivitas.

5. Validasi diri dan produktivitas

ilustrasi bekerja (pexels.com/MART PRODUCTION)

Selama ini, apakah masih menormalisasi tren hustle culture? Seringkali seseorang memutuskan bekerja keras tanpa henti. Bahkan mereka tidak memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk beristirahat meskipun sebentar. Hustle culture yang dianggap normal tidak terlepas dari beberapa penyebab di baliknya.

Salah satu yang paling berpengaruh adalah validasi diri dan tolok ukur produktivitas. Beberapa orang merasa identitas dan harga dirinya melekat pada seberapa sibuk atau produktif mereka. Kualitas hidup hanya diukur dari segi pencapaian. Bukan dari keseimbangan atau kebahagiaan pribadi.

Konsep kerja keras tanpa henti sering dijadikan sebagai patokan oleh milenial dan gen z. Mereka menganggap langkah tersebut sebagai ajang pembuktian diri dan pencapaian. Belum lagi dengan adanya rasa takut gagal dan keinginan memperoleh validasi. Sebagai milenial dan gen z yang menormalisasi tren hustle culture, apakah dirimu juga memiliki sudut pandang tersebut?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAgsa Tian