ilustrasi perempuan (pixabay.com/RyanMcGuire)
Meskipun memaafkan memiliki nilai kebaikan dan manfaat untuk diri sendiri, namun bukan berarti kita wajib untuk selalu memaafkan. Tidak memaafkan bukan berarti membiarkan kebencian dan dendam tetap menguasai, melainkan hak kita untuk melindungi diri dan menetapkan batasan yang sehat untuk kesejahteraan fisik dan emosional kita.
Pada beberapa kondisi, kita berhak memilih untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Beberapa kondisi tersebut diantaranya jika memaafkan dapat merugikan diri kita sendiri, misalnya jika seseorang melakukan kekerasan fisik atau emosional, pengkhianatan, atau penyalahgunaan kepercayaan secara berulang, maka memaafkan bisa membuat diri kita berada dalam situasi yang berbahaya atau merugikan.
Kedua, kita juga berhak untuk tidak memaafkan jika seseorang yang meminta maaf tidak menunjukan penyesalan atau usaha untuk berubah setelah menyakiti. Memaafkan dalam kondisi ini bisa memberikan kesan bahwa kita menerima atau membenarkan perilaku buruk mereka. Menahan diri untuk tidak memaafkan bisa menjadi cara untuk melindungi harga diri dan mengirimkan pesan bahwa perilaku mereka tidak dapat diterima.
Selanjutnya, dalam kondisi belum siap kita juga boleh memilih tidak memaafkan untuk sementara waktu. Memaafkan adalah proses emosional yang membutuhkan kesiapan hati dan pikiran.
Jika kita memaksakan diri untuk memaafkan sebelum benar-benar siap, hal itu justru dapat membuat luka batin semakin dalam dan mempersulit proses penyembuhan. Dalam situasi seperti ini, memilih untuk tidak memaafkan adalah bentuk penghormatan terhadap diri sendiri dan pengakuan atas perasaan yang sedang dialami.
Memaafkan adalah tindakan mulia yang dapat membawa kedamaian batin dan memperbaiki hubungan. Namun keputusan memaafkan atau tidak adalah pilihan pribadi yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Memaafkan itu penting, tapi bukan sebuah kewajiban.