Ilustrasi orangtua dan anak (Pexels.com/Andrea Piacquadio)
Hukum jual beli sperma yang dilarang dalam Islam memiliki sejumlah alasan kuat. Pertama, bila diruntut dari cara pengumpulan sperma yang dilakukan lewat laki-laki yang bermasturbasi, maka perolehan sperma itu sendiri dinilai tidak etis. Pasalnya, mayoritas ulama menentang praktik masturbasi secara umum.
Selain itu, syarat jual beli adalah adanya nilai manfaat dari barang atau jasa yang ditransaksikan. Dalam hal ini, sperma bukanlah barang, maka tidak boleh diperjual belikan. Suardi Abbas menyimpulkan bahwa mengambil manfaat dari sperma yang terlarang dijual sama dengan menikmati sesuatu yang haram.
Ketiga, jual beli sperma yang bertujuan untuk membuahi sel telur dari bukan pasangan yang sah dinilai sama dengan zina. Hal yang paling dipermasalahkan dari praktik ini adalah terjadinya pemutusan nasab (keturunan) karena anak hasil inseminasi lahir di luar pernikahan. Dengan begitu, sang anak tidak memiliki garis keturunan yang jelas.
Padahal Islam sangat menjaga kemurnian nasab karena berkaitan erat dengan urusan mahram dan waris. Meski jual beli sperma tidak melibatkan persetubuhan, tapi praktiknya dianggap melanggar kesucian alat kelamin yang telah diatur dalam Islam. Oleh karena itu, hukum jual beli sperma adalah haram karena memiliki kerugian dan membawa keburukan yang lebih dominan.
Berdasarkan prinsip dan syariat hukum Islam, dapat disimpulkan bahwa hukum jual beli sperma dengan tujuan untuk inseminasi buatan adalah haram. Praktik penyuntikan sperma ke ovum antara pasangan yang tidak sah dianggap sama dengan zina karena tidak ada pernikahan yang mengesahkan.