ilustrasi salat menghadap kiblat (pexels.com/Thirdman)
Situs resmi NU Online menjelaskan secara detail terkait permasalahan ini. Sebelumnya, kita perlu uraikan terlebih dahulu alasan seseorang meninggalkan salat (bahkan saat dalam keadaan berpuasa). Merujuk pada Taqriratus Sadidah fi Masail Mufidah oleh Hasan bin Ahmad al-Kaf,
"Ada dua kondisi orang yang meninggalkan salat: meninggalkan salat karena mengingkari kewajibannya dan meninggalkan salat karena malas. Orang yang masuk dalam kategori pertama, maka ia dihukumi murtad. Sementara orang yang meninggalkannya karena malas, hingga waktunya habis, maka ia masih dikatakan Muslim."
Dapat dikatakan, orang yang meninggalkan salat karena mengingkari kewajibannya, maka puasanya akan batal secara otomatis. Hal tersebut dikarenakan orang tersebut sudah dianggap murtad. Sementara jika alasannya malas atau sibuk, statusnya masih Muslim dan puasanya tidak dinyatakan batal secara esensial.
Meski begitu, ada penjelasan lebih lanjut dari Taqriratus Sadidah,
"Pembatalan puasa itu dibagi menjadi dua kategori: pertama, pembatalan yang merusak pahala puasa, namun tidak membatalkan puasa itu sendiri. Kategori ini dinamakan muhbithat (merusak pahala puasa) dan tidak diwajibkan qada; kedua, sesuatu yang dapat membatalkan puasa dan merusak pahalanya. Bila melakukan ini tanpa uzur, maka wajib mengqada puasa di hari lainnya. Kategori ini dinamakan mufthirat (membatalkan puasa)."
Masih dalam situs NU Online, dituliskan juga bahwa meninggalkan salat saat berpuasa Ramadan itu dikategorikan sebagai muhbithat al-shaum. Memang tidak merusak keabsahan puasa, namun bisa merusak pahala puasa.