Saat seseorang yang sedang depresi menuliskan perasaannya di media sosial, dua jenis respons akan didapatkan. Respons pertama adalah orang-orang yang memberikan dukungan agar dia segera terbebas dari depresi. Biasanya, kata-kata motivasi dan kesediaan diri untuk dijadikan tempat curhat akan mereka berikan.
Respons kedua adalah orang-orang yang terus mengolok dia. Tidak jarang mereka justru mempersilakan untuk bunuh diri dengan cara-cara yang konyol. Jika komentar seperti ini diterima orang depresi, tentu hal tersebut akan semakin menambah rasa depresinya. Penderita depresi berisiko melakukan bunuh diri jika menghadapi situasi seperti ini.
Kita tidak benar-benar tahu apakah orang yang sedang mengeluh depresi di media sosial merupakan mereka yang butuh bantuan atau sekadar mencari sensasi. Namun, alangkah baiknya agar kita memilih menuliskan komentar yang bersifat memberikan dukungan positif saja.
Minimal, kita mendiamkan pos medsos semacam itu. Jangan malah semakin memperkeruh suasana, ya.
Brian A. Primack MD, PhD bersama lima orang lain melakukan studi dengan judul "The Association Between Valence of Social Media Experiences and Depressive Symptoms" pada 2018 dan masuk dalam jurnal Depression and Anxiety dari Universitas Pittsburgh.
Mereka memaparkan bahwa setiap kenaikan 10 persen dalam interaksi media sosial negatif yang dialami seseorang, risiko depresi mereka meningkat secara signifikan sebesar 20 persen. Sebaliknya, setiap kenaikan 10 persen dalam pengalaman positif, risiko depresi turun sampai 4 persen.
Studi tersebut mempertanyakan hampir 1.200 siswa antara usia 18-30 tahun tentang penggunaan media sosial mereka dan apakah pengalaman mereka dengan hal itu biasanya positif atau negatif.
Studi ini semakin menguatkan bahwa media sosial turut andil dalam menumbuhkan depresi seseorang. Tugas kita adalah berusaha meredamnya, minimal dengan tidak meninggalkan komentar negatif di pos medsos seseorang.