Sudah hampir 18 bulan pandemik COVID-19 melanda negara kita, Republik Indonesia. Selama 18 bulan itu pula telah silih berganti deretan peristiwa, dari yang terdengar baik, buruk, hingga kondisi nyata yang sulit untuk dijelaskan. Keadaan yang berbeda dari setiap daerah, masalah – masalah ekonomi, pendidikan, hingga mobilitas masyarakat adalah sebagian kecil dari domino effect yang pandemik COVID-19 ini ciptakan.
Masalah kesehatan dan meningkatnya angka kematian tentunya menjadi momok paling menakutkan bagi masyarakat. Namun kita sebagai masyarakat serta pemerintah sebagai pemangku kebijakan, acap kali mengabaikan dan tidak menyadari adanya masalah kesehatan mental di sekitar kita, yang tentunya turut menyumbang komplikasi masalah selama pandemik.
Kesehatan mental sering kali tidak menjadi prioritas dikarenakan gejala awalnya yang tidak terdeteksi langsung oleh penglihatan dan fisik kita. Padahal menurut data dari World Health Organization (WHO); 1 persen kematian selama pandemik merupakan bunuh diri. Sedangkan penelitian dari Pine Rest Christian Mental Health Services memperkirakan peningkatan kasus bunuh diri sebesar 32 persen karena kehilangan pekerjaan, stres terkait kehilangan orang yang dicintai, dan kesepian karena isolasi atau karantina.
Penyebab dari timbulnya gangguan mental ini bisa datang dari berbagai faktor, tentunya faktor – faktor ini terpicu dari kondisi pandemik yang mengharuskan kita melakukan adaptasi akan kebiasaan baru. Maka dari itu, kita sebagai masyarakat harus mengenali faktor – faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kesehatan mental kita selama pandemik, gejala – gejalanya, hingga solusi apa yang bisa kita tawarkan, baik untuk diri kita sendiri ataupun orang lain di sekitar kita yang acap kali tidak dapat menunjukkan, bahwa diri mereka sedang tidak sehat secara mental.
Tentunya dengan kesehatan mental yang baik, masyarakat turut menyumbang proses yang signifikan untuk #IndonesiaPulih.