Justitia Lawan Patriarki Lewat Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa itu mungkin tepat menggambarkan korban kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Sudah jadi korban, masih harus menebalkan telinga dari omongan sumbang orang sekitar, belum lagi bersusah payah melawan hukum yang seringnya tak berpihak pada korban.
Keprihatinannya akan hal ini yang membuat Veda menginisiasi program KAKG atau Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender. Seperti apa, sih, sepak terjangnya membidani lahirnya KAKG? Penulis mendapat kesempatan berbincang langsung dengan Justitia Avila Veda pada Sabtu (28/11/2022) Berikut ulasan lengkapnya!
1. Jenis-jenis kekerasan seksual dan laporan yang diterima KAKG, terbanyak adalah penyebaran konten intim
Terbilang masih anyar, KAKG didirikan di tengah pandemik pada Juni 2020. Meski baru seumur jagung, hingga kini KAKG sudah menangani 150 kasus. Kasus kekerasan seksual yang terjadi meliputi penyebaran konten intim, kekerasan dalam pacaran, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
“Dari situ akhirnya kelihatan bahwa mayoritas kasusnya penyebaran konten intim, dan ternyata difasilitasi oleh pandemik dan lockdown. Selain itu ada KDRT, yang dimana sebenarnya hal ini dikonfirmasi juga dari komnas HAM perempuan.”
Di hari pertama didirikan, Veda menerima 40 aduan dari warganet. Hal ini yang membuatnya menyeriusi KAKG. Di 2-3 bulan awal, ia merekrut 10 orang pengacara sebagai tenaga sukarelawan.
Ada dua pengacara yang selalu siaga setiap hari Senin hingga Jumat pukul 08.00-18.00 WIB. Sedangkan, pada hari Sabtu dan Minggu biasanya digunakan untuk pendampingan kasus.