Masyarakat adil dan berkelanjutan tidak akan tercipta hanya dari pembangunan infrastruktur yang megah atau bahkan melalui kebijakan makro pemerintah, melainkan tumbuh dari konsistensi kebiasaan kecil yang berlangsung di kehidupan sehari-hari di masyarakat. Salah satu kebiasaan kecil yang paling merusak masyarakat apalagi kalau bukan kecenderungan untuk menghakimi orang lain. Kebiasaan semacam ini bukan sekadar sikap tidak sopan, melainkan akar dari banyak konflik sosial, kesenjangan gender, polarisasi digital, bahkan kegagalan advokasi pada lingkungan hidup.
Di negara majemuk seperti Indonesia, yang dihuni oleh lebih dari 1,3 ribu suku bangsa dan 300 kelompok etnis, berbagai agama, status ekonomi, hingga identitas gender dan kemampuan yang beragam, kemampuan menunda penilaian dan memberi ruang terhadap keberagaman bisa menjadi bentuk tertinggi dari peradaban. Bila pembangunan sumber daya manusia, kesehatan, sains, teknologi, pendidikan, hingga kesetaraan seperti halnya yang tercantum dalam Asta Cita ingin segera diwujudkan, maka reformasi cara berpikir dan empati warga negara Indonesia harus dimulai dari kebiasaan terkecil yakni berhenti menghakimi orang lain. Lantas bagaimana caranya? Mari cari tahu bersama-sama!