5 Bentuk Toleransi Antar Budaya Indonesia sebagai Kunci Adaptasi Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah masalah sosial, ekonomi, dan budaya selain masalah lingkungan. Berbagai bidang kehidupan terpengaruh, mulai dari pangan, energi, hingga kesehatan. Dalam konteks Asa Cita No. 4, toleransi antar budaya sangat penting untuk mengembangkan sumber daya manusia yang adaptif, berpendidikan, dan mampu bekerja sama dengan orang lain secara inklusif.
Bencana banjir, longsor, dan kebakaran hutan kerap menjadi masalah umum di Indonesia yang membutuhkan kolaborasi lintas komunitas. Di sisi lain, di tingkat internasional, perundingan iklim di forum seperti COP (Conference of the Parties) menunjukkan bahwa percakapan antar budaya dapat memungkinkan kerja sama global. Nah, untuk mencapai kesepakatan bersama, diperlukan toleransi terhadap perbedaan pandangan, budaya, dan prioritas. Apa saja cara yang dapat dilakukan untuk beradaptasi pada perubahan iklim melalui toleransi antar budaya?
1. Pendidikan inklusif sebagai dasar kesadaran iklim

Pendidikan berbasis lingkungan telah dimulai di Indonesia. Salah satu contohnya adalah program Adiwiyata, yang mendorong sekolah untuk mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Metode ini akan lebih baik kalau digunakan bersama dengan adat istiadat lokal, seperti adat orang Baduy yang sangat mempertahankan hutan dan sumber air.
Kalau pendidikan menghargai keragaman budaya, siswa tak hanya belajar tentang teori iklim tetapi juga tentang peristiwa yang terjadi di lingkungan mereka sendiri. Ini membuat siswa sadar bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menjaga Bumi, ya.
2. Dialog antar budaya dalam penerapan teknologi hijau

Sebenarnya Indonesia memiliki kemampuan menghasilkan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga surya, dan bioenergi. Namun, biaya tinggi dan resistensi masyarakat terhadap kemajuan teknologi menghalangi implementasinya. Melalui percakapan antarbudaya, semua pihak dapat saling membantu mengatasi tantangan ini melalui penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan prinsip lokal. Program Desa Mandiri Energi, misalnya, berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap energi bersih dengan menggabungkan biogas dengan budaya gotong royong.
Norwegia dan Denmark juga sudah lama memanfaatkan energi angin dan laut secara global. Mereka kemudian berbagi pengalaman mereka dengan negara-negara Asia Tenggara melalui forum dan kemitraan teknologi internasional. Akan lebih baik untuk mendorong adopsi teknologi hijau dengan mempertimbangkan budaya lokal, kan?
3. Kesetaraan gender untuk memperkuat peran perempuan dalam adaptasi iklim

Bangladesh dianggap sebagai negara dengan risiko tinggi akibat perubahan iklim, terutama banjir dan topan. Akibatnya, mereka menekankan peran perempuan dalam adaptasi iklim. Setelah itu, banyak perempuan di negara tersebut bergabung dengan program penyesuaian yang berbasis komunitas.
Perempuan di Bangladesh mengatasi dampak negatif perubahan iklim dengan membangun rumah panggung atau mengelola bank benih di lingkungan mereka sendiri, dan keduanya berhasil. Mereka menunjukkan dengan jelas bahwa pemberdayaan perempuan adalah bagian penting dari ketahanan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, banyak komunitas perempuan yang langsung terlibat dalam adaptasi iklim. Salah satunya adalah Wanita Tani Jawa Tengah, yang menggunakan pertanian organik untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pupuk kimia. Dengan ini, mereka memperkuat ekonomi keluarga selain menjaga keberlanjutan lahan, lho.
Kesetaraan gender juga memastikan bahwa suara perempuan di desa-desa terdengar dalam pengambilan keputusan, sehingga kebijakan iklim lebih relevan dan berkelanjutan. Hal ini memperlihatkan jika toleransi antar budaya bisa memperkuat pengakuan bahwa perempuan, meski berbeda latar budaya, memiliki kontribusi vital yang sama.
4. Pemuda sebagai penghubung budaya dan kampanye iklim

Apakah kamu mengetahui Youth for Climate Action? Tak sedikit, pemuda Indonesia mengikuti gerakan lingkungan yang mengajak generasi muda berpartisipasi dalam kebijakan iklim lebih aktif. Selain itu, masalah seperti polusi udara di Jakarta dan deforestasi di Kalimantan menjadi perhatian utama di media sosial.
Terobosan ini menunjukkan bahwa mereka mampu mengubah pesan lingkungan menjadi tindakan yang menarik dengan cepat. Akibatnya, anak-anak muda dianggap sebagai katalisator perubahan.
Selain itu, generasi muda memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan komunitas muda dari berbagai negara untuk meningkatkan solidaritas dan toleransi antarbudaya di seluruh dunia. Mereka dapat melakukannya dengan menggunakan media sosial dan berbagai tren teknologi baru.
5. Kolaborasi inklusif melalui kebijakan global

Indonesia, sebagai negara kepulauan, sangat terlibat aktif dalam pertemuan global seperti COP27 di Mesir, yang membahas masalah pendanaan iklim untuk negara berkembang. Indonesia mendorong agar suara negara berkembang lebih diperhatikan melalui diplomasi yang inklusif. Dalam diplomasi internasional, toleransi budaya menunjukkan bahwa setiap negara memiliki prioritas dan kesulitan yang berbeda. Dengan adanya dialog antarnegara, kemungkinan potensi kesepakatan jadi lebih adil.
Meskipun begitu, keberhasilannya sangat bergantung pada negara-negara yang berpartisipasi dalam proses perundingan dan pelaksanaan kebijakan untuk bertoleransi satu sama lain. Negara maju harus mengakui bahwa negara berkembang memiliki keterbatasan. Negara berkembang, di sisi lain, harus tetap terbuka terhadap inovasi dan menerima bantuan teknologi. Selama prinsip toleransi dan inklusi dipertahankan, kolaborasi global inilah yang akan membantu menangani krisis iklim dengan lebih baik.
Toleransi budaya sangat penting untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia dan di seluruh dunia. Asta Cita nomor 4 menyatakan bahwa bekerja sama dalam keberagaman bukan hanya nilai moral tetapi juga metode praktis untuk menyelamatkan Bumi. Setuju?
Referensi:
“UN Women calls for increased gender-focused climate finance at COP29”. UN Women. Diakses Agustus 2025.
“Education for Sustainable Development Goals: learning objectives”. UNESCO. Diakses Agustus 2025.
“Perempuan, Kesetaraan Gender Dan Perubahan Iklim”. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - Republik Indonesia. Diakses Agustus 2025.
“Empowering Youth for Climate Action: A Guide to Influence COP26 and Beyond”. Youth Climate Action. Diakses Agustus 2025.
“Apa yang perlu kamu ketahui tentang COP 27”. Greenpeace. Diakses Agustus 2025.
“Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal”. Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses Agustus 2025.