Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ketika Usiaku Menginjak 25 Tahun, Inilah Hal-Hal yang Paling Aku Takutkan

Sumber Gambar: pexels.com

Artikel ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis #WorthyStory yang diselenggarakan IDNtimes.com. Kalau kamu ingin artikelmu eksis seperti ini, yuk ikutan kompetisi menulis #WorthyStory sekarang juga. Untuk informasi lengkapnya, kamu bisa cek di sini

"Urusan masa lalu, siapa sih yang bisa mengubahnya?

Urusan masa depan, siapa sih yang tahu?"

Masa lalu memang kadang tak selalu sejalan dengan rencana, tapi bukankah masa depan juga akan seperti itu? Meskipun masa lalu telah memberiku banyak pelajaran untuk menyongsong masa depan, tapi tetap saja, rasa takut akan masa depan sering menyerang layaknya flu.

Terkadang, aku merasa kerdil kala kekhawatiran dan ketakutanku diam-diam datang. Di usiaku yang sudah seperempat abad, membayangkan akan seperti apa diri ini di lima tahun mendatang saja rasanya seperti tergulung ombak besar di antara palung – mengerikan. Perlahan, bayangan yang tak pernah kuharapkan kembali datang.

Aku bukan apa-apa dan tak akan menjadi siapa-siapa tanpa orangtua dan keluarga. Ngeri rasanya melihat mereka tiada.

Default Image IDN

Aku sadar, suatu hari nanti aku pasti akan kehilangan Ayah, ibu, dan saudara kandungku di dunia ini. Entah siapa yang ada di antrian paling depan. Aku tak pernah sanggup melihat cuplikan peristiwa mengerikan ini lewat di pikiranku. Membayangkan saja membuatku hancur, bagaimana jika hari itu ternyata benar-benar tiba nanti?

Aku benar-benar khawatir. Aku takut kehilangan orang-orang yang paling aku sayangi di dunia ini. Tak bisa melihat senyum mereka lagi adalah hal paling mengerikan dalam hidupku. Menjalani hidup sebatang kara dan tak tahu harus kemana aku berkeluh kesah saat aku sedang dipecundangi realita hidup. Sungguh aku tak akan pernah sanggup menjalaninya.

Sujud syukur selalu aku panjatkan pada Tuhan, hingga detik ini keberadaan mereka masih nyata di sekitarku. Selagi waktuku masih ada, aku berjanji tak akan pernah menyia-nyiakan waktu bersama mereka. Akan kutebus semua waktu dan kesempatan yang pernah hilang bersama mereka, karena aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri.

Perkara jodoh memang misteri, tapi bagaimana jika seumur hidup hal itu masih tak pasti?

Default Image IDN

Selama ini, aku memang tak pernah terlalu pusing untuk mencari pasangan. Bahkan soal pernikahan pun belum terlintas sedikitpun di kepalaku, meski masyarakat sering berpendapat usiaku sudah cukup matang untuk menikah. Tapi jujur, pernikahan masih belum menjadi hal yang aku prioritaskan dalam hidup.

Namun bukan berarti aku sama sekali tak mempedulikannya. Kisah cinta yang pasang surut dan rumit membuatku lelah, juga pesimis mengenai dua insan yang melebur dalam janji suci. Meskipun aku sudah pasrah dan seolah tak peduli, namun jujur dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku selalu khawatir soal jodohku di masa depan.

Usiaku yang tak lagi belia ini semakin memperkeruh keadaan. Pertanyaan soal pernikahan datang dan menjejali tiap sudut percakapan. Semua membuatku semakin khawatir dengan kesendirianku ini. Bagaimana jika aku belum juga bertemu jodohku? Bagaimana bila dia pernah datang dan terlewatkan olehku? Bagaimana kalau ternyata jodohku tidak kunjung datang walau aku sudah siap?

Bagi banyak orang, pekerjaan mungkin hanya soal uang. Tapi bagiku, pekerjaan adalah bagian dari hidup. Salahkah aku yang takut kehilangan itu?

Default Image IDN

Aku banyak mendengar cerita dari teman-temanku yang telah menikah. Mereka bahagia dengan keluarga kecil yang telah dibinanya dengan kasih dan cinta. Meski begitu, untuk sebuah kebahagiaan itu ada hal besar yang harus mereka korbankan. Salah satunya adalah karir.

Atas nama kodrat dan tanggung jawab sebagai seorang perempuan dan istri, perempuan harus rela melepas karirnya. Perempuan harus mengikuti permintaan suami untuk berhenti bekerja dan hanya fokus mengurus rumah tangga.

Aku takut bila hal ini terjadi padaku di masa depan. Bagaimana jika suamiku nanti memintaku untuk berhenti bekerja? Bagaimana jika aku sama sekali tidak diperbolehkan untuk berkarir? Aku begitu mencintai pekerjaanku dan peranku sebagai wanita karir. Menyuruhku berhenti bekerja, sama halnya menyuruhku untuk memotong tanganku sendiri.

Aku takut jika orang yang bersanding di pelaminan denganku kelak adalah orang yang salah.

Default Image IDN

Aku tak pernah tahu, sosok pria seperti apakah yang akan menjadi imamku kelak. Seperti wanita lainnya, aku juga punya daftar kriteria yang kuharapkan akan menjadi teman baik yang seumur hidup tinggal bersamaku. Semua orang tentu berharap bisa menikah sekali untuk seumur hidup, bukan karena biayanya yang mahal, namun karena pernikahan adalah ikatan suci. 

Memang tak pernah mudah mencari pasangan yang bisa menerima diriku apa adanya. Tak mudah menemukan pendamping yang sesuai dengan kriteriaku. Bukan bermaksud menjadi terlalu pemilih, hanya saja aku benar-benar takut salah memilih orang. Aku takut pria yang menjadi suamiku nanti justru adalah orang yang paling aku benci dan akhirnya menjadi orang yang aku harap tak pernah kutemui. 

Memiliki anak adalah anugerah yang selalu aku dambakan, tapi bagaimana jika saat dia datang, aku justru tak sanggup menjadi orangtua yang baik baginya?

Default Image IDN

Suatu hari nanti, aku akan menjadi seorang ibu bagi anak-anakku. Memiliki anak dan membina keluarga kecil adalah salah satu impian terbesar dalam hidupku. Namun aku sepenuhnya sadar, mengemban tugas sebagai orangtua itu tak semudah yang terlihat.

Ketika aku beranjak dewasa, aku mulai paham bagaimana orangtuaku jatuh bangun menghidupiku dan kakak-kakakku. Aku semakin sadar bahwa tugas orangtua begitu berat. Kebahagiaan, kesejahteraan dan hak-hak anak-anak sebisa mungkin mereka penuhi. Belum lagi soal akhlak dan moral yang juga harus aku ajarkan kepada mereka. Tidak ada sekolah orang tua di dunia ini dan aku tahu banyak kesalahan yang menantiku di depan. 

Bukan… bukan maksudku menganggap peran sebagai orangtua itu sebuah beban hidup. Tapi sungguh tak bisa kupungkiri, aku sangat takut gagal menjadi orangtua yang baik bagi anak-anakku kelak. Aku takut, aku tak bisa merawat dan mendidik anak-anakku sebaik dan sehebat orangtuaku.

Apakah rasa takut dan kekhawatiranku itu terlalu berlebihan? Mungkin, tapi bukan berarti aku pesimis dengan masa depanku. Jujur di satu sisi, aku merasa sangat takut akan masa depan. Namun di sisi lain, aku merasa tertantang, penasaran dan tak sabar untuk menjalaninya. 

Aku sadar, hidup bukan untuk ditakuti dan dikhawatirkan, karena esensi sebenarnya dari hidup ini adalah tentang keberanian dan perjuangan. Sekarang, aku mencoba untuk berdamai dengan ketakutan itu, dan perlahan aku menyulur keberanianku untuk menghadapinya.

Default Image IDN
Share
Topics
Editorial Team
Ernia Karina
EditorErnia Karina
Follow Us