Ilustrasi ka'bah (unsplash.com/Haidan)
Sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad sejak muda, telah dikenal banyak orang sehingga kepercayaan publik terhadapnya terus berdatangan. Hal ini juga yang mendukung Nabi Muhammad diberi gelar al-Amin.
Nabi Muhammad menerima gelar al-Amin saat dirinya berusia 35 tahun, sebelum diangkat menjadi rasul. Saat itu, kabilah Quraisy sedang merenovasi Ka'bah karena bangunannya makin rapuh setelah diterjang banjir. Selanjutnya, Al-Walid bin Mughirah Al-Makhzumi berinisiatif untuk mengawali penghancuran Ka'bah, kemudian dilanjutkan oleh orang-orang dari kabilah Quraisy.
Dilansir buku Sirah Nabawiyah karya Zulyadain dan Fitrah (2021), setiap kabilah mendapat giliran untuk membangun kembali Ka'bah. Namun, konflik mulai muncul saat pembangunan sudah sampai hajar Aswad. Orang-orang dari berbagai kabilah berebut demi mendapatkan kehormatan untuk meletakkan batu ini. Perselisihan tersebut tidak menemukan jalan keluar hingga berhari-hari, bahkan hampir ada pertumpahan darah.
Saat itu, tokoh tetua di antara semua kabilah, Umayyah bin Mughirah Al-Makhzumi, memberikan pendapatnya bahwa orang pertama di antara mereka yang memasuki pintu Ka'bah adalah yang berhak untuk menentukan kebijakan tentang peletakan hajar Aswad. Dengan izin Allah SWT, orang tersebut adalah Nabi Muhammad SAW. Setelah mengetahui orang tersebut adalah Rasulullah, para kabilah pun menyetujuinya seraya berkata:
"Dia adalah Al-Amin (orang yang terpercaya), kami rela apa pun yang di putuskan, inilah Muhammad SAW."
Dengan keputusan itu, Nabi Muhammad tidak jadi egois. Justru, Beliau memberikan keputusan terbaik. Ia memberitahu untuk menyiapkan sehelai selendang, kemudian meletakkan hajar Aswad di tengah kain tersebut.
Nabi Muhammad meminta kepada para pemuka setiap kabilah yang berselisih agar menjadi wakil kabilahnya untuk memegang ujung-ujung selendang. Dengan cara itu, hajar Aswad pun diangkat bersama-sama menuju tempatnya.