kegiatan Teman Autis seminar karier dewasa autis (dok. pribadi/Alvinia Christiany)
Perjalanan Teman Autis untuk mewujudkan Indonesia ramah autisme tidak selalu mulus, sejumlah rintangan harus tetap dihadapi. Saat awal merintis Teman Autis, Alvinia dan tim sudah cukup kesulitan mencari sesama komunitas yang mau berkolaborasi. Meski hanya sekadar menjadi sumber informasi yang akan ditampilkan melalui laman Teman Autis. Pasalnya, kala itu belum banyak yang mengenal mereka.
“Seiring berjalannya waktu, kami menjalin pertemanan, berbincang dengan komunitas lain. Dari situ, kami bisa mendapatkan solusi untuk tantangan ini,” ujar Alvinia Christiany.
Rintangan akan terus ada sering berkembangnya Teman Autis. Saat ini salah satu hal yang paling dirasakan, yakni keterbatasan sumber daya manusia. Padahal, mereka bermimpi ingin menjangkau seluruh masyarakat dan para orang tua yang memiliki anak dengan kondisi autisme di Indonesia. Tampaknya cukup sulit menjangkau semua daerah bagi Alvinia dan tim yang saat ini ber-13 orang. Namun, mereka tetap berjalan meski perlahan dengan harapan memiliki jangkauan yang lebih luas suatu saat nanti.
Teman Autis bersama para orang tua yang memiliki anak dengan kondisi autisme turut menghadapi tantangan kurangnya dukungan dari pihak keluarga dan lingkungan sekitarnya. Fase penolakan kerap dialami para orang tua, sehingga mereka tidak dapat memberikan penanganan maksimal untuk anaknya yang mengidap autisme. Parahnya lagi, penolakan ini dapat terjadi dari pihak pasangan, kakek-nenek, dan tetangga terdekat.
Kurangnya dukungan ini dapat terlihat dari cara orang-orang terdekat tersebut tidak menerima kondisi autisme, tapi justru menghakimi. Ada pula yang memberikan informasi tanpa tahun kebenarannya. Hal tersebut membuat para orang tua mengalami mental breakdown. Akhirnya, mereka cenderung menyembunyikan kondisi anaknya.
Teman Autis menghadapi tantangan ini dengan membuka grup WhatsApp, menjadi wadah bagi para orang tua untuk saling mendukung. Selain itu, Alvinia dan tim memberikan informasi tentang berbagai komunitas terkait autisme. Misalnya, komunitas melukis untuk anak-anak autis, sehingga hobi anak dapat tersalurkan dan para orang tua dapat tetap saling mendukung. Maka, terwujudlah komunitas yang sehat.
“Kita memang tidak dapat mengontrol reaksi orang lain. Maka dari itu, kami ingin membantu teman-teman autis dan orang tuanya. Walaupun lingkungan sekitarnya belum dapat menerima, setidaknya mereka memiliki komunitas yang sehat,” lanjut Alvinia.
Kondisi lain yang harus dihadapi Teman Autis, yakni banyak orang awam memiliki prasangka, prinsip, atau pemikiran tentang autisme yang dibuat-buat sendiri. Pemikiran tersebut bukan berdasarkan fakta dan pengetahuan. Bahkan, beberapa di antaranya menggunakan autisme sebagai ledekan. Mirisnya lagi, tidak hanya dilakukan langsung secara verbal.
Berbeda lagi dengan orang awam yang sama sekali belum memahami autisme, kemungkinan besar lebih mudah menerima karena belum memiliki pemikirannya sendiri. Lain pula dengan mereka yang memiliki pengalaman kurang baik dengan anak autis, misalnya saat si anak sedang tantrum dan marah-marah. Maka, akan muncul pemikiran bahwa anak autis bandel. Padahal, pengidap autis juga memiliki tantangan untuk mengekspresikan emosinya dengan baik.
Sebagian besar orang awam yang belum mengetahui sampai tahap tersebut, kerap kali menghakimi dan cukup sulit diubah. Namun, Teman Autis terus memberi pemahaman dan mencoba untuk memperlihatkan seperti apa pengidap autis. Jangan hanya melihat dari kekurangannya, mereka juga memiliki kelebihan masing-masing. Pengidap autis sebatas berbeda, bukan berarti hanya memiliki kekurangan.
“Salah satu motto yang sering kami pegang, berbeda bukan berarti kurang,” tegas Alvinia.
Secara pribadi, Alvinia juga memiliki kekhawatiran jika menunjukkan tentang autisme di media sosial. Betapa pedasnya kalimat netizen yang memiliki kemungkinan dibaca oleh individu dengan kondisi autisme. Hal tersebut dapat membuat kondisi psikisnya terganggu. Sebab, akan ada pihak yang tidak setuju dan belum dapat menerima autisme ini. Maka dari itu, Alvinia dan tim sangat berhati-hati dalam mempublikasikan konten-konten yang melibatkan individu autis.