Laksmi Pamuntjak di IDN HQ pada 20 Agustus 2025 (IDN Times/Nisa Meisa Zarawaki)
Novelnya yang berjudul Kitab Kawin, kembali dicetak ulang dengan sampul depan yang berbeda. Namun, Laksmi mengatakan tidak ada perbedaan mengenai isi dari Kitab Kawin. Novel ini terdiri dari 12 kisah kehidupan yang terinspirasi oleh perempuan dari latar belakang dan setting yang berbeda-beda.
Ada pekerja toserba, karyawan perusahaan asuransi, pramusaji merangkap pemain band di restoran Korea, seniman paruh baya, instruktur yoga, perempuan asli Alifuru, remaja yang kehilangan masa depannya, hingga ibu-ibu borju. Semuanya memiliki permasalahan yang bermuara pada hubungan pernikahan, cinta, atau relasi intim.
“Jadi dari situ, saya melihat tema perkawinan ini sebenarnya menarik karena perkawinan itu ada banyak ragamnya. Tapi dalam perkawinan yang bahagia atau tidak bahagia pun, selalu ada nuansanya. Saya ingin masuk kepada contoh-contoh perkawinan, bukan cuma perkawinan yang konvensional,” terangnya saat menemui IDN Times di kantor IDN HQ, Jakarta.
Ia menangkap luasnya makna “kawin” dalam bahasa Indonesia. Hal inilah yang berusaha ditunjukkan oleh Laksmi bahwa pernikahan bukan sekadar ritus. Semua tokoh perempuan digambarkan punya kompleksitasnya masing-masing dari kisah perselingkuhan, poligami, kekerasan fisik, hingga isu seksual. Semuanya terilham dari kasus-kasus yang kerap ditemukan di Indonesia.
“Kitab-kitab ini tak saja berkisah tentang jiwa-jiwa yang buncah, kesepian dan terlantar, serta tubuh-tubuh yang terpasung dan disakiti, tapi juga tentang jiwa-jiwa yang berontak dan merdeka, dan yang berani merumuskan ulang hukum-hukum perkawinan bagi diri mereka sendiri,” ujarnya.
Bukan tanpa sebab, Laksmi mengangkat perspektif perempuan karena pergejolakan-pergejolakan yang dialami dan hanya bisa dirasakan oleh perempuan. Namun, ia tidak ingin meromantisasi perempuan. Mau bagaimana pun, perempuan juga manusia yang tidak sempurna dan punya kekurangan.
“Perempuan itu tidak selalu tidak merdeka, tapi mereka juga tidak selamanya korban,” tegasnya.
Lewat Kitab Kawin, Laksmi ingin menunjukkan perspektif perempuan yang lebih luas. Bahwa perempuan juga penuh keraguan, gak konsisten, gak percaya diri, berpikir dangkal, bisa manipulatif. Ketika dihadapkan oleh beragam pilihan hidup, perempuan menjadi manusia yang punya banyak pertimbangan.
Namun, Laksmi juga menghadirkan sisi perempuan yang tangguh. Perempuan yang berani, cuek, penuh akal, gak cengeng, gak peduli penilaian orang lain, dan gak takut dianggap bukan ‘perempuan baik-baik’.
Penting baginya menjelaskan bahwa perempuan tidak tunggal dan tidak tanpa cela. Keputusan yang dibuat perempuan tidak terlepas dari faktor strata sosial, ekonomi, pendidikan, usia, budaya, agama, dan lain sebagainya.
“Tapi nyatanya, meskipun perempuan tak jarang berada di garda depan perubahan, nilai-nilai patriarki di masyarakat Indonesia telah mengakar-urat. Demikian pula upaya untuk meredam atau membekap suara perempuan, terutama dalam konteks keadilan dan kesetaraan gender,” tuturnya.
Di Kitab Kawin, Laksmi ingin agar perempuan juga tahu hak-haknya. Mereka adalah individu yang punya cita-cita, keinginan, insting untuk bertahan hidup, dan mindset yang berbeda.