Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi murid sekolah sedang baca buku
ilustrasi murid sekolah sedang baca buku (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)

Intinya sih...

  • Miskonsepsi tentang rendahnya minat baca di Indonesia

  • Kurangnya pemerataan akses perpustakaan

  • Harga buku yang masih sulit didapatkan bagi masyarakat kalangan bawah

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sudah tidak asing lagi dengan narasi, jika minat baca di Indonesia itu rendah. Tidak hanya itu, banyak media yang menyampaikan bahwa hanya 0,001 persen masyarakat Indonesia gemar membaca berdasarkan data UNESCO. Hal ini menimbulkan pertanyaan dan perdebatan di berbagai kalangan.

Apakah benar minat baca di Indonesia rendah? Benarkah masyarakat Indonesia malas membaca? Atau justru ada masalah utama yang selama ini tidak diketahui? Untuk itu, artikel ini akan menggali lebih lanjut permasalahan literasi baca di Indonesia. Agar, kita tahu penyebab utama di balik rendahnya minat baca di Indonesia. Berikut penjelasannya di bawah ini!

1. Miskonsepsi tentang rendahnya minat baca di Indonesia

ilustrasi baca buku bersama (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)

Di berbagai artikel media dikatakan bahwa literasi baca di Indonesia rendah. Tercatat hanya sekitar 0,001 persen masyarakat Indonesia yang gemar membaca. Persentase tersebut dikutip dari UNESCO dan digunakan sebagai taraf penilaian.

Dilansir dari Perpusnas, Muhammad Syarif Bando selaku Mantan Kepala Perpustakaan Nasional pernah menyoroti klaim lama dari UNESCO yang menyebut minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Ia menegaskan bahwa angka tersebut merupakan data yang sudah lama.

Senada, laman GoodStats menyampaikan melalui data survei yang dikeluarkan Snapcart bahwa, sebanyak 88 persen anak muda di Indonesia tercatat suka membaca, baik secara online maupun offline. Temuan ini menunjukkan bahwa perilaku membaca generasi muda tidak serendah narasi yang beredar selama ini.

Dari dua sumber tersebut, terlihat jelas bahwa klaim 0,001 persen minat baca masih bersifat sekunder, kerap dikutip ulang, dan belum memiliki validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Adanya miskonsepsi ini menimbulkan stigma di masyarakat, seolah akar masalahnya ada pada kemauan individu. Padahal, bisa jadi isu utamanya terletak pada hal lain yang jauh lebih mendasar lagi.

2. Kurangnya pemerataan akses perpustakaan

ilustrasi baca buku di perpustakaan (pexels.com/Ron Lach)

Perpustakaan merupakan pintu utama literasi. Dengan adanya perpustakaan dapat memudahkan orang untuk baca buku dan menjadi wadah untuk meningkatkan literasi baca. Namun, apakah pemerataan perpustakaan di Indonesia sudah dapat di akses dengan mudah?

Nyatanya, masih banyak wilayah-wilayah pelosok yang belum mendapatkan kemudahan mengakses perpustakaan. Akibatnya, masyarakat belum sepenuhnya menerima bacaan karena tidak meratanya ketersediaan perpustakaan di Indonesia. Hal inilah yang dapat memicu rendahnya minta baca di negeri ini, sebab jumlah perpustakaan yang masih minim.

3. Harga buku yang masih sulit didapatkan bagi masyarakat kalangan bawah

ilustrasi toko buku (pexels.com/Ksenia Chernaya)

Harga buku di Indonesia sering dianggap mahal dan membuat sedikit masyarakat di Indonesia enggan membeli buku. Jika harga buku di Indonesia mahal, kenapa harga buku di negara lain cenderung murah? Ini karena di beberapa negara seperti Prancis dan Jerman menerapkan Fix Book Price (FBP).

Dilansir Cambridge Judge Business School, adanya Fix Book Price (FPB) berdampak positif pada toko buku agar tetap hidup dan orang dapat membeli buku dengan harga terjangkau. Selain itu, industri perbukuan di beberapa negara didukung oleh pajak rendah, biaya produksi efisien, serta jaringan distribusi yang kuat. Pemerintahnya juga memberikan subsidi dan menyediakan perpustakaan modern yang mudah diakses oleh warganya.

Beda halnya di Indonesia, biaya kertas yang masih bergantung pada impor, pajak yang lebih tinggi, minimnya perpustakaan, dan pasar buku yang relatif kecil membuat harga buku sulit turun. Jadi, bukan minat bacanya yang rendah namun ekosistem literasinya yang memang belum sepenuhnya mendukung terutama bagi kalangan masyarakat kalangan bawah di Indonesia.

4. Budaya baca buku perlahan sudah mulai berkembang

ilustrasi media sosial (pexels.com/cottonbro studio)

Meski sering mendengar bahwa masyarakat Indonesia malas membaca, namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Budaya baca justru mulai tumbuh perlahan melalui berbagai komunitas dan platform di media sosial. Misalnya, munculnya kehadiran BookTok, Bookstagram, dan content creator buku di mana generasi muda aktif membangun ekosistem literasi mereka sendiri.

Berdasarkan data GoodStats (2024) menyampaikan, dengan adanya content creator seperti Bookstagram dapat meningkatkan minat baca terutama kalangan gen Z. Tidak hanya itu, komunitas buku baik offline atau online sudah mulai menjamur luas. Komunitas-komunitas ini rutin mengadakan kegiatan seperti diskusi buku, tukar buku, dan kelas membaca.

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa permasalahannya adalah terhalang oleh akses yang serba minim. Bukan karena masyarakat yang malas. Bahkan, anak muda sekarang mulai mengembangkan kembali minat baca lewat media sosial. Jadi, apa benar minat baca di Indonesia rendah?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team