Asaelia Aleeza dan Emily, Co-Founder Ubah Stigma (Dok. Istimewa)
Keprihatinan Asaelia Aleeza terhadap kondisi kesehatan mental di Indonesia menjadi fondasi utama terbentuknya organisasi non profit bernama Ubah Stigma. Sebagai anak muda yang baru memulai kehidupan perkuliahannya beberapa tahun silam, ia mulai mengenal dan menyadari pentingnya kesehatan mental.
Asaelia merasa bahwa panggilan hidupnya adalah melayani orang lain. Namun saat itu, ia belum tahu bagaimana cara yang tepat untuk berkontribusi dan menjadi berkat untuk orang lain.
Ketertarikannya terhadap dunia kesehatan mental ini berawal dari latar belakang pendidikan, yaitu psikologi. Berlandaskan minat yang sama, Asaelia sering berkomunikasi dengan Emily Jasmine (teman sekaligus co-founder Ubah Stigma).
"Suatu ketika kita ngobrol, 'kenapa ya orang indonesia itu gak berani ke psikolog?'. Saya pikir 'iya juga ya, oh ternyata itu karena stigma di Indonesia. Keluarga, komunitas, sosial itu belum terbuka tentang hal itu. Kalau ada orang yang ngomongin mental health, pasti dihakimi atau menjadi aib dalam sebuah keluarga," jelasnya.
Menurutnya, permasalahan akan kesehatan mental ini bukan dari individu itu sendiri melainkan stigma masyarakat. Apalagi Indonesia masih erat dengan budaya kolektif, yang mana masyarakat mudah mendengarkan apa kata orang lain. Kesehatan mental acapkali dipandang sebelah mata.
Pengalamannya berkuliah di luar negeri membuat Asaelia merasakan sendiri perbedaan penanganan atau layanan kesehatan mental yang diberikan. Di Indonesia, layanan khusus untuk kesehatan mental terbilang minim. Sementara di Inggris, pelayanan dan aksesibilitasnya lebih terstruktur, bahkan ada institusi khusus.