ilustrasi novel klasik (pexels.com/Harper Sunday)
Pernahkah kamu menemukan buku yang judulnya sama persis dan bahasa yang dipakai pun sama, tetapi harga keduanya timpang? Satu lumayan menguras kantong, satunya lagi cukup miring, nih. Ternyata, harga jual akhir buku klasik bisa berbeda karena proses penerjemahan atau penyesuaian bahasanya masing-masing.
Buku yang lebih murah biasanya tidak melalui proses penerjemahan yang rumit dan saksama. Bisa saja mereka hanya pakai naskah asli tanpa melakukan penyesuaian dengan ejaan terbaru. Ini beda dengan yang dibanderol lebih mahal. Kalau menemukan buku klasik yang sama, tetapi beda harga, coba tengok nama penerjemahnya masing-masing. Pasti berbeda! Ini berlaku pula dalam kasus buku klasik terjemahan bahasa asing non-Inggris. Buku klasik tidak hanya ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi juga Italia, Spanyol, Portugis, Rusia, dan lain-lain.
Penerbit bisa langsung menerjemahkan naskah aslinya bila memang memiliki translator yang ahli dalam bahasa-bahasa tadi. Namun, mengingat keberadaannya mungkin langka, gak aneh kalau penerbit mematok harga agak tinggi. Dalam kasus lain, bila memang ketersediaan penerjemah bahasa-bahasa tadi langka, penerbit bisa juga menyadur naskah terjemahan bahasa Inggris yang sudah terbit. Untuk kasus ini, mereka seharusnya membeli royalti dari penerjemah bahasa Inggris untuk dapat hak alih bahasa ke bahasa Indonesia. Masalahnya, tak sedikit penerbit dalam negeri yang tidak melakukan proses legal tersebut. Ini yang memungkinkan mereka menjual novel klasik dengan harga lebih murah. Intinya soal etika dan proses penerjemahan yang harus dihargai, sih.
Beberapa buku klasik juga dilengkapi kata pengantar dari ahli atau penulis lain yang bisa jadi nilai plus buat sebagian pembaca. Ini cocok buat pembaca yang ingin tahu konteks sejarah dan kultural di balik tulisan tersebut. Keterlibatan ahli ini tentu gak gratis. Penerbit harus menambah biaya produksi dan akhirnya berpengaruh terhadap harga akhir.