Ada dua hal yang kucintai dalam hidup : Ibu dan Pohon Mangga. Ibu yang realistis dan pohon mangga di samping rumah.
November berlalu seperti cepatnya kereta api berjalan. Aku tak bisa lagi menemani Ibu mempertahankan keharmonisan pohon mangga itu. Kami terpisah oleh jarak. Musim terus berganti, pohon mangga di halaman rumah terus berkembang dan berbuah. Manis hanya dapat dibayangkan.
Tak terasa, umurku juga bertunas dan juga matang, persis seperti yang dilakukan pohon mangga tersebut. Hanya satu yang kusesali. Ku tak bisa lagi menemani Ibu mempertahankan eksistensi pohon mangga bersama-sama. Ibu sedih dengan bahasanya sendiri. Jarak yang membuat rindu semakin mengental.
Aku dan Ibu hanya menyapa via suara, kadang membahas bagaimana pohon mangga tersebut tidak lagi panen seperti biasanya. Karena sudah lebih dahulu digugurkan oleh anak-anak yang menginginkan buah mangga itu prematur.
“Ini semua, demi kebaikan Dinda,” ucap Ibu halus. Aku selalu terbius setiap Ibu berbicara, persis bagaikan kehalusan sutra yang ditenun ulat. Kepekaan tersebutlah yang membuat tutur Ibu bagai sederet pesan yang dibungkus kado pernikahan. Tidak mendayu-dayu, bahkan rapi. Memesona.