Ilustrasi penculikan (Pixabay.com/Meelimello)
Membahas profil Marsinah, hilangnya aktivis buruh ini yang tak wajar tidak boleh dilupakan. Kasus hilangnya Marsinah dimulai dari awal tahun 1993, ketika pemerintah daerah mengimbau perusahaan untuk menaikkan gaji karyawan sebesar 20%. Mendengar hal itu, para buruh di PT CPS menyambut kaba gembira ini dengan penuh harapan. Namun, pihak perusahaan justru mengajukan keberatan.
Setelah serangkaian rapat dan negosiasi yang tidak membuahkan hasil, para buruh memutuskan untuk melakukan unjuk rasa pada 3 dan 4 Mei 1993 dengan tuntutan kenaikan upah. Marsinah berperan sebagai negosiator untuk 500-an pekerja yang melakukan pemogokan karena perusahaan gagal memberikan upah minimum.
Pada 5 Mei 1993, beberapa buruh yang dianggap menggerakkan aksi dipanggil dan dipaksa mengundurkan diri di markas Kodim Sidoarjo. Marsinah tentu saja mendatangi Kodim untuk menanyakan nasib rekan-rekannya. Namun mulai tanggal 5 Mei sekitar pukul 10 malam, Marsinah dinyatakan menghilang.
Hingga pada 8 Mei 1993, jasadnya ditemukan di desa Wilangan, Nganjuk dengan tanda-tanda penyiksaan berat. Dari hasil autopsi yang dilakukan oleh Haryono, pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono, Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya dipastikan bahwa Marsinah tewas akibat penganiayaan.
Sementara itu, hasil penyidikan polisi kala itu menyebutkan bahwa Suprapto, pekerja di bagian kontrol CPS menjemput Marsinah di dekat rumah kosnya. Ia kemudian dibawa ke pabrik lalu dipindahkan menggunakan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Surabaya. Setelah disekap selama tiga hari, seorang satpam CPS disebut melakukan eksekusi terhadap Marsinah.