Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)
Sebagai sosok yang tumbuh dan bersekolah di Timika, Papua, Fitria memahami betul rasanya belajar dengan keterbatasan buku, pendidik, dan fasilitas yang minim. Sementara daerah lain di Indonesia, memiliki fasilitas yang lebih menunjang dengan guru yang relatif stabil.
"Isu terbesar dalam pendidikan Indonesia menurut saya adalah ketimpangan. Bukan hanya ketimpangan secara geografis, antara kota dan desa, antara timur dan barat Indonesia, tetapi juga ketimpangan dalam hal akses, kualitas guru, fasilitas belajar, bahkan ekspektasi masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri," jelas Fitria.
"Ketimpangan ini nyata dan bukan hanya menyangkut fisik sekolah, tapi bisa menciptakan kesenjangan kesempatan hidup lebih baik untuk anak-anak," tambahnya.
Problematika pendidikan di Indonesia tak hanya fokus pada ketimpangan atau kesenjangan antar wilayah. Permasalahan lain yang juga jadi sorotan Fitria adalah tujuan pendidikan nasional. Ia menilai, Indonesia belum memiliki kesepakatan bersama soal tujuan pendidikan nasional.
"Kita sering bicara tentang 'memajukan pendidikan', tapi tidak jelas untuk apa dan ke mana arah yang dituju. Apakah pendidikan kita hanya bertujuan mencetak tenaga kerja? Mengejar ranking dan angka-angka di ujian nasional? Atau, sebenarnya kita ingin membentuk manusia Indonesia yang utuh, yang kritis, berdaya, punya empati dan kesadaran sosial?" kata Fitria.
Fitria menegaskan, selama pendidikan Indonesia tidak punya fondasi yang jelas tentang arah pendidikan, kurikulum akan terus tambal sulam. Setiap pergantian menteri, maka akan ada pergantian sistem. Guru dan siswa dipaksa beradaptasi tanpa diberi cukup waktu untuk mendalami satu sistem sebelum diganti lagi. Akibatnya, sekolah tidak jadi tempat bertumbuh secara utuh, melainkan tempat bertahan dari kebijakan yang terus berubah.
Ditanya soal harapan bagi pendidikan di Indonesia, Fitria menyebutkan, "Saya berharap pendidikan di Indonesia tidak lagi dipandang sebagai alat untuk mencetak tenaga kerja murah, tapi sebagai ruang untuk membentuk manusia yang utuh, yang berpikir kritis, peduli, dan berdaya. Pendidikan bukan hanya tentang angka dan ujian nasional, tapi tentang siapa anak-anak itu kelak ketika mereka tumbuh dewasa, apakah mereka akan diam saat melihat ketidakadilan, atau justru menjadi bagian dari perubahan?"
Besar harapan Fitria agar pendidikan Indonesia memiliki tujuan yang terarah serta mampu menjangkau kebutuhan berbagai pihak yang terlibat. Anak-anak dan guru menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang bernilai dan memiliki makna mendalam.
"Saya juga berharap, kita berani mendesain ulang sistem pendidikan kita dengan mendengarkan suara dari lapangan, guru, murid, dan orangtua, bukan hanya dari meja birokrat. Selama ini, kita terlalu sering mengubah kurikulum tanpa menyentuh akar masalahnya, ketimpangan akses, kualitas guru, dan pendekatan belajar yang terlalu kaku. Saya ingin melihat Indonesia di mana guru diberi ruang untuk berkembang, bukan hanya dibebani administrasi. Di mana anak-anak yang berbeda, yang lambat, yang unik, tidak dipinggirkan, tapi dirangkul. Di mana pendidikan tidak melulu soal ranking, tapi soal kebermaknaan," ujarnya.
Lebih dalam terkait guru, Fitria berharap masyarakat berhenti memuja-muja istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” dan mulai benar-benar memberikan keadilan untuk guru-guru. Keadilan dalam bentuk gaji yang layak, pelatihan yang bermutu, dan kebijakan yang berpihak.
Sebab baginya, "Pendidikan adalah cermin bangsa. Dan saya berharap, suatu hari nanti, kita semua bisa melihat wajah Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan cerdas dari cara kita mendidik anak-anaknya."