Bagi Sita, berkebun tidak hanya sekadar aktivitas menanam. Lebih dari itu, menanam mengajarkannya untuk menjadi pribadi yang lebih sabar dan pelan-pelan berproses dalam hidup.
“Ini masalah buat aku yang terbiasa cepat. Padahal tubuh dan pikiran sesekali harus dilambatkan. Nah, dengan menanam, ini berguna untuk melatih rasa bersyukur,” ungkap Sita.
Kesabaran dibutuhkan dalam aktivitas menanam. Dalam menanam, dibutuhkan kesabaran menunggu sejak menyemai benih, menunggu sampai berkecambah (sprout), dan menunggu sampai berdaun 4-5 helai, kemudian dipindah ke tempat yang lebih besar. Tidak hanya itu. Tempat tumbuh, kecukupan sinar matahari, nutrisi tanah, air, dan lain-lain juga perlu diperhatikan. Selain itu, berkebun tidak hanya mengajarkan Sita untuk bersabar, tetapi juga ikhlas jika tanaman gagal atau terkena hama.
Seiring dengan berjalannya waktu, Sita yang awalnya bertemperamen tidak sabaran dan cenderung pemarah, kini berubah. Dia menjadi mudah bahagia dan mudah menerima kalau alam itu memiliki proses yang adil. Dia pun percaya selama yang dilakukannya sudah baik, hasilnya akan baik pula.
“Jadi kesimpulannya menanam itu buat aku sekarang adalah terapi jiwa, waktu meditasi, dan olah rasa. Dalam ya. Sekarang buat aku menanam tidak lagi mengacu pada keberhasilan panen, tetapi menikmati setiap proses yang membuat aku bahagia: ketika bisa memakan sayuran dari hasil tanam sendiri, makan raw (menikmati keindahan bentuk dan warna sayuran yang segar ketika dipetik sampai ke piring saji), dll.”
Selain itu, menurutnya dari sisi lingkungan, dia merasa perlu berperan mempertahankan fungsi tanah, menjaga keseimbangan ekosistem, dan mata rantai seluruh makhluk hidup. Karena itu menanam organik yang konsisten dia pilih, bukan teknik menanam lain.
Dia pun memperhatikan binatang-binatang seperti capung, lebah, kupu2, belalang, dan burung liar apakah masih mendatangi lingkungan rumahnya di perkotaan. Bila tidak, dia akan mulai khawatir dengan keseimbangan ekosistem di lingkungan rumahnya.