Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi media sosial (unsplash.com/Aaron Weiss)

Intinya sih...

  • Karier dan jabatan di media sosial seringkali membuat orang merasa tidak cukup atau gagal
  • Rumah minimalis modern dan gaya hidup mewah menciptakan tekanan finansial dan status sosial
  • Hubungan romantis, penampilan fisik, dan standar kecantikan dipengaruhi oleh narasi semu di media sosial

Apa yang awalnya sekadar unggahan, kini pelan-pelan berubah jadi tolok ukur yang dianggap mutlak oleh banyak orang. Sayangnya, tak semua yang terlihat di layar ponsel itu bisa dijadikan acuan nyata. Di balik tampilan serba ideal, ada narasi yang kadang terlalu dibuat-buat dan jauh dari realitas sebagian besar orang.

Media sosial memang punya kekuatan membentuk persepsi, tapi bukan berarti semua yang tersaji di sana patut dipercaya mentah-mentah. Apalagi ketika standar hidup yang ditampilkan mulai membuatmu merasa kecil, tertinggal, atau bahkan tidak cukup. Berikut beberapa standar hidup ala media sosial yang sebaiknya tidak dipercaya sepenuhnya.

1. Orang menentukan value diri lewat pekerjaan yang terdengar mewah

ilustrasi pekerjaan yang terasa mewah (unsplash.com/Armin Narimani)

Banyak akun di media sosial memamerkan jabatan atau karier dengan istilah asing yang terkesan tinggi dan prestisius. Hal ini membuat banyak orang merasa bahwa pekerjaan mereka tidak cukup membanggakan hanya karena tak terdengar ‘besar’. Padahal, nilai sebuah profesi tak bisa diukur dari seberapa menariknya jabatan itu ditulis di bio Instagram. Setiap pekerjaan yang halal dan dilakukan dengan dedikasi memiliki nilai penting bagi keberlangsungan hidup seseorang.

Di sisi lain, narasi ini secara tak langsung membuat orang merasa gagal bila belum sampai di titik karier tertentu. Perbandingan ini akhirnya mengikis rasa syukur dan menumbuhkan rasa malu terhadap pencapaian sendiri. Mengejar kemajuan itu baik, tapi bila dilakukan hanya demi terlihat mengesankan di mata publik, maka tujuannya akan cepat memudar. Fokus pada nilai yang sebenarnya jauh lebih penting daripada sekadar tampilan luar.

2. Rumah serta hunian dijadikan simbol kesuksesan hidup seseorang

ilustrasi rumah (unsplash.com/Gul Fatima)

Unggahan rumah berdesain minimalis modern lengkap dengan perabotan estetik ala Pinterest seringkali dianggap sebagai simbol atau represntasi kehidupan yang sukses dan mapan. Gaya hidup ini, tanpa sadar, membuat banyak orang merasa harus memiliki hal serupa untuk dianggap berhasil. Padahal, rumah adalah kebutuhan personal yang tak seharusnya jadi alat validasi status sosial.

Banyak dari kita yang lupa bahwa kenyamanan dan ketenangan jauh lebih penting daripada tampilan. Media sosial jarang memperlihatkan cicilan yang mengikat atau beban finansial di balik hunian tersebut. Ini menciptakan ilusi bahwa semua itu mudah didapatkan asal “niat dan kerja keras,” padahal kenyataannya tak sesederhana itu. Setiap orang punya prioritas hidup yang berbeda, jadi membandingkan tempat tinggal justru menjauhkan diri dari rasa cukup.

3. Gaya hidup konsumtif berlindung dibalik kata 'self reward'

ilustrasi self reward (unsplash.com/Jacek Dylag)

Berbelanja barang bermerek, liburan ke luar negeri, bahkan makan di restoran fancy kerap disebut sebagai bentuk self reward oleh banyak orang di media sosial. Konten seperti ini mudah diterima karena dibalut narasi bahwa diri sendiri pantas dimanjakan. Namun tak sedikit yang akhirnya merasa harus ikut-ikutan meskipun kondisi finansial belum mendukung. Gaya hidup ini jadi tekanan terselubung yang memaksa orang membelanjakan lebih dari kemampuannya.

Padahal, merayakan pencapaian tidak harus mahal atau mewah. Self-reward bukan hanya tentang uang yang dikeluarkan, tapi bagaimana kamu menghargai diri sendiri secara tulus. Membuat standar reward dari apa yang orang lain tunjukkan di media sosial bisa memunculkan rasa iri dan gagal bagi orang lain, lho. Pilihan gaya hidup seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pribadi, bukan dari feed orang lain.

4. Hubungan asmara ditampilkan sebagai tujuan hidup yang utama

ilustrasi couple goals (unsplash.com/The Chaffins)

Potret pasangan bahagia dengan caption manis memang mudah membuat orang merasa iri dan membandingkan diri. Konten seperti ini memperkuat narasi bahwa hubungan romantis adalah kunci kebahagiaan yang hakiki. Akibatnya, tidak sedikit yang merasa ada yang kurang jika belum punya pasangan atau tidak menjalani hubungan yang ‘ideal’ seperti yang terjadi di masyarakat. Padahal tidak semua momen dalam hubungan bisa dijadikan patokan hidup yang nyata.

Setiap pasangan tentu punya dinamika yang tidak ditampilkan ke publik. Ketika standar hubungan dibentuk dari unggahan semu, kamu bisa merasa gagal hanya karena tidak bisa menunjukkan hal serupa. Fokus membangun hubungan yang sehat secara pribadi jauh lebih penting daripada menciptakan tampilan relasi yang hanya indah untuk dilihat. Kebahagiaan bukan tentang apa yang dilihat orang, tapi tentang apa yang kamu rasakan sendiri dalam keseharian.

5. Penampilan fisik dianggap cerminan kualitas diri

ilustrasi penampilan fisik (unsplash.com/Brooke Cagle)

Konten yang menonjolkan wajah mulus, tubuh proporsional, dan gaya berpakaian yang sedang tren membuat banyak orang berpikir bahwa penampilan adalah kunci segala hal. Standar ini terbentuk begitu kuat hingga memengaruhi cara seseorang menilai harga dirinya. Jika tak sesuai dengan kriteria yang umum dipuji, orang bisa merasa tidak cukup baik untuk diterima. Hal ini tentu berbahaya karena membentuk persepsi diri yang salah.

Padahal kecantikan dan daya tarik fisik itu subjektif dan sangat kontekstual. Tidak semua orang punya akses untuk tampil ‘sempurna’ seperti yang ditampilkan para influencer. Media sosial jarang menunjukkan realita di balik kamera mulai dari filter, editan, dan proses panjang sebelum sebuah foto diunggah. Lebih penting untuk merawat diri berdasarkan kenyamanan dan kesehatan daripada mengejar standar visual yang semu dan tidak realistis.

Menentukan standar hidup seharusnya berangkat dari kebutuhan dan kenyamanan pribadi, bukan dari apa yang tampil di layar ponsel. Media sosial boleh jadi alat hiburan atau inspirasi, tapi tidak untuk dijadikan patokan mutlak. Semakin kamu sadar bahwa realitas itu beragam, semakin mudah pula untuk hidup lebih tenang dan percaya diri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team