Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi tempat sampah
ilustrasi tempat sampah (pexels.com/SHVETS Production)

Intinya sih...

  • Perubahan pola hidup tidak terjadi secara instan, butuh disiplin dan komitmen

  • Produk ramah lingkungan sering tidak terjangkau karena harga lebih mahal

  • Minimnya fasilitas pendukung dan infrastruktur lingkungan di beberapa daerah

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Berkomitmen pada gaya hidup ramah lingkungan bukan hanya tentang membeli produk hijau. Juga bukan tentang mengurangi plastik, atau mematikan lampu lebih cepat. Lebih dari itu, membangun kebiasaan eco-friendly adalah proses yang menantang.

Proses ini melibatkan perubahan mindset, perilaku, serta adaptasi terhadap norma sosial dan kenyamanan. Meski tantangannya tidak sederhana, kebiasaan eco friendly penting karena berdampak pada keberlanjutan lingkungan dalam jangka panjang. Terdapat lima tantangan utama dalam menetapkan kebiasaan eco-friendly, serta refleksi sederhana tentang bagaimana kita bisa mulai mengatasinya.

1. Perubahan pola hidup tidak terjadi secara instan

ilustrasi memungut sampah (pexels.com/Marta Ortigosa)

Kita harus menyadari bahwa menerapkan kebiasaan eco friendly tidak terlepas dari sejumlah tantangan. Tantangan pertama adalah kenyataan bahwa perubahan kebiasaan membutuhkan waktu. Banyak dari kita ingin hidup lebih ramah lingkungan, tetapi sulit mempertahankan konsistensi dalam jangka panjang.

Contohnya, membawa tas belanja sendiri, rutin memilah sampah, atau beralih ke transportasi publik. Strategi ini mungkin terasa mudah di awal, namun bisa tergeser oleh rasa malas atau rutinitas lama yang lebih nyaman. Tantangan ini bukan soal pengetahuan, tetapi disiplin dan komitmen.

2. Produk ramah lingkungan tidak selalu terjangkau

ilustrasi sampah (pexels.com/Juan Pablo Serrano)

Harga sering menjadi salah satu kendala terbesar. Produk eco-friendly atau sustainable biasanya memiliki harga lebih mahal dibandingkan versi konvensional. Contohnya saja sabun organik, deterjen eco-friendly, atau item daur ulang berkualitas tinggi.

Harganya lebih mahal karena melibatkan proses yang lebih etis, bahan alami, serta produksi yang tidak dilakukan massal. Meski pada jangka panjang beberapa produk bisa lebih ekonomis, tetapi biaya awal sering menjadi penghalang bagi banyak orang untuk memulai.

3. Minimnya fasilitas pendukung dan infrastruktur lingkungan

ilustrasi tempat sampah (pixabay.com/Christels)

Tidak semua daerah memiliki fasilitas ramah lingkungan yang memadai. Misalnya tempat daur ulang masih terbatas. Transportasi publik tidak nyaman atau tidak layak. Atau program pemilahan sampah belum aktif atau tidak konsisten.

Ketika sistem pendukung tidak tersedia, individu yang berusaha menerapkan gaya hidup eco-friendly bisa merasa frustrasi. Bahkan tidak melihat dampak nyata dari usahanya. Hal ini dapat membuat motivasi menerapkan gaya hidup berkelanjutan mengalami penurunan.

4. Lingkungan sosial yang memang belum mampu mendukung

ilustrasi bullying (pexels.com/Yan Krukau)

Banyak orang yang enggan menerapkan kebiasaan eco-friendly bukan karena tidak peduli. Melainkan karena takut dianggap ribet, terlalu idealis, atau berbeda. Perubahan gaya hidup sering kali mempengaruhi kebiasaan bersama dalam keluarga, pertemanan, atau lingkungan kerja.

Misalnya, seseorang yang mencoba mengurangi penggunaan plastik. Mungkin menghadapi komentar dari orang-orang yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut. Kurangnya dukungan sosial membuat proses adaptasi menjadi lebih sulit dan bisa menimbulkan rasa jenuh atau minder.

5. Kehadiran informasi yang terkadang membingungkan

ilustrasi merasa bingung (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Banyak informasi tentang gaya hidup ramah lingkungan yang beredar. Mulai dari tips, tren, hingga klaim produk hijau. Namun, tidak semuanya benar atau tepat. Fenomena klaim palsu tentang keberlanjutan membuat orang sulit menentukan mana tindakan atau produk yang benar-benar ramah lingkungan.

Ketidakpastian ini kadang membuat seseorang ragu untuk mulai karena takut salah langkah. Pada akhirnya kebiasaan eco friendly hanya sekadarnya menjadi wacana. Namun tidak benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata.

Tantangan menerapkan kebiasaan eco-friendly memang tidak ringan. Namun perubahan kecil, konsisten, dan disertai kesadaran memberi dampak yang jauh lebih berarti daripada perubahan besar yang hanya dilakukan sesekali. Tidak perlu sempurna, yang penting sudah berproses. Karena pada akhirnya, bumi hanya menginginkan kita menjadi manusia yang lebih bijak terhadap lingkungan setiap harinya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAgsa Tian