Wenny Yosselina mengajar anak-anak disabilitas (dok. rilis)
Aktivitas Wenny bersama anak-anak disabilitas bermula saat mengerjakan tugas akhir di S1 Fakultas Seni Rupa ITB pada 2016. Untuk memperdalam materi desain komunikasi visual, ia harus menyelesaikan sebuah problem komunikasi. Wenny pun magang di sebuah tempat kursus menggambar di Bandung.
Sejumlah anak didiknya berusia 7-8 tahun ternyata berada dalam spektrum neurodivergen, istilah non-medis untuk menggambarkan seseorang dengan cara kerja otak dan interaksi secara berbeda. Dalam kesan pertama Wenny, anak-anak ini kerap tak menanggapi si lawan bicara bahkan terkesan bandel.
“Tapi waktu diminta menggambar, ia berusaha untuk menyelesaikan gambar itu karena ingin buat mamanya bangga. Mereka juga menunjukkan trust atau percaya sama kita waktu kita bikin karya bareng-bareng. Nah, di situlah karya visual itu berbicara lebih kuat dibandingkan verbal,” tandas Wenny.
Ia mengakui semula tidak mudah berinteraksi dengan anak disabilitas. Masih segar dalam ingatan Wenny, pengalamannya membimbing dua anak autisme saat menuntaskan tugas akhir kuliah. Mereka membuat buku visual tentang binatang-binatang yang hampir punah di Asia Tenggara.
Di tengah pengerjaan, anak-anak itu kadang kehilangan fokus dan beralih ke kegiatan lain seperti membaca atau menonton Youtube. Wenny juga sempat gugup karena melihat siswa lain sempat mengalami tantrum. Namun lambat laun, Wenny memahami mereka akan melakukan tugasnya saat mereka gembira, tanpa paksaan, tak tergesa-gesa, namun dengan target yang jelas.