Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi ngobrol
ilustrasi ngobrol (pexels.com/George Milton)

Intinya sih...

  • Self-absorbed people, di mana seseorang terlalu fokus hanya pada pengalaman dan perasaannya sendiri.

  • Tipe orang seperti ini tidak bisa ikut senang untuk kebahagiaan orang, dan tidak bisa ikut sedih untuk masalah orang.

  • Ia hanya ingin bicara ketika ada yang ingin diceritakan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernah gak, kamu ketemu seseorang yang fokus hidupnya hanya ke diri sendiri? Tiap kamu curhat, cerita ini-itu dengan harapan mendapat respons, si lawan bicara malah membandingkan dengan pengalaman diri. Tiap hari, yang dikeluhkan dan diceritakan hanya tentang ia dan dirinya.

Karakter demikian disebut self-absorbed, di mana seseorang terlalu fokus hanya pada pengalaman dan perasaannya sendiri, hingga tahap kurang perhatian pada orang lain. Terlepas dari banyaknya penyebab yang memicu munculnya karakter ini, tetap self-absorbed tidak bisa dinormalisasikan.

Terlalu egois dan self-centered, gak heran kehadiran mereka bisa menyedot energi orang di sekitarnya. Mengapa demikian? Simak tiga alasan logis di bawah.

1. Kurang empati, sering membandingkan cerita orang lain dengan pengalaman sendiri

ilustrasi teman mengobrol (pexels.com/Liliana Drew)

Paling nyebelin ketika curhat atau cerita dengan seseorang dan berharap didengar, tapi alih-alih, doi malah mengungkit pengalaman hidupnya sendiri. Seolah masalahmu lebih ringan dan tidak ada apa-apanya dibanding kisah hidup doi.

Jelas kehadirannya melelahkan mental, karena tipe orang seperti ini tidak bisa ikut senang untuk kebahagiaan orang, dan tidak bisa ikut sedih untuk masalah orang. Fokus mereka hanya diri dan hidup mereka sendiri.

Kalau kamu menceritakan tentang masalahmu, ia pasti akan membawa-bawa seribu satu masalahnya. Kalau kamu menceritakan tentang pekerjaanmu, ia langsung membandingkan dengan pekerjaannya. Pokoknya, tidak ada konversasi yang seimbang. Semua hanya tentang dia, dirinya, dan hidupnya.

2. Tidak pernah tertarik dengan kehidupan orang lain

ilustrasi wanita ngobrol (pexels.com/Alexander Suhorucov)

Untuk membangun relasi yang seimbang, butuh feedback antara kedua belah pihak. Kamu bercerita dan mendengar, begitu pun sebaliknya. Namun, seseorang yang selalu fokus ke diri sendiri tidak pernah mau meluangkan waktu untuk mendengar kisah orang.

Ia berasumsi bahwa orang lain pun tertarik dengan kehidupannya, sebagaimana ia tertarik untuk menceritakannya. Karena itulah, meski kamu sudah “mengode” untuk mengganti topik, doi tidak pernah peka dan tetap asyik melanjutkan ceritanya.

Alhasil, kamu sendiri yang harus menelan kekecewaan. Kalau sekali-dua kali gak apa-apa, tapi bila terus dilakukan maka lambat laun capek juga.

3. Kadang available, kadang tidak

ilustrasi teman curhat (pexels.com/Liza Summer)

Karena self-absorbed people hanya mau bercerita ketika sedang mood saja, ia kadang bisa menjadi orang yang baik dan hangat, tapi di waktu berbeda jadi acuh tak acuh terhadapmu. Ia hanya ingin bicara ketika ada yang ingin diceritakan. Bila tidak, ia kembali fokus ke dirinya sendiri.

Ini yang bikin relasi tersebut terasa sangat melelahkan. Kalian tidak hadir untuk satu sama lain dengan cara yang sehat, tapi hanya datang ketika saling membutuhkan. Itu pun, hanya satu pihak yang bercerita, sementara pihak lain mendengar. Pembicaraan jadi berjalan satu arah dan tidak tulus.

Hidup terlalu singkat untuk fokus ke diri sendiri. Ada kalanya kamu memang memberi waktu untuk dirimu, tapi jangan sampai kebiasaan tersebut malah membunuh empatimu terhadap orang lain.

Tiga penjelasan di atas juga menjadi pedang bermata dua bagi kita. Coba tanya ke diri sendiri: apa selama ini aku hanya fokus ke diriku? Bila iya, maka sudah saatnya untuk berubah. Jangan sampai terlalu terbiasa, kita lupa cara mengekspresikan kepedulian pada orang lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team