ilustrasi pasangan bahagia (unsplash.com/Becca Tapert)
"Aku gak mau dipaksa jadi istri atau suami yang stereotipikal." Kekhawatiran ini menunjukkan bahwa kamu menginginkan hubungan yang setara dan autentik, bukan sekadar mengikuti ekspektasi masyarakat tentang bagaimana seharusnya suami atau istri berperilaku.
Pernikahan modern tidak harus terpaku pada peran gender yang kaku. Kamu dan pasangan bisa menciptakan kemitraan yang fleksibel berdasarkan kekuatan, minat, dan kemampuan masing-masing. Misalnya, tidak ada aturan bahwa laki-laki tidak boleh mengurus rumah atau perempuan tidak boleh menjadi pencari nafkah utama.
Ketakutan dan kekhawatiran terhadap pernikahan sebenarnya bisa menjadi cerminan bahwa kamu sudah memikirkan pernikahan secara mendalam. Kamu tidak naif atau terburu-buru. Kamu memahami bahwa pernikahan adalah komitmen serius yang membutuhkan kedewasaan emosional.
Seseorang yang tidak pernah merasa takut atau ragu tentang pernikahan mungkin justru belum sepenuhnya memahami tanggung jawab dan komitmen yang terlibat di dalamnya. Jadi, kalau kamu merasa takut menikah, jangan langsung berkecil hati, mungkin itu justru tanda bahwa kamu sudah memiliki kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi pasangan yang luar biasa: kehati-hatian, kemandirian, kesadaran emosional, tanggung jawab finansial, dan keinginan untuk membangun hubungan yang autentik.
Yang terpenting adalah kamu menghadapi ketakutan-ketakutan itu dengan sikap terbuka, mencari pasangan yang bisa memahami kekhawatiranmu, dan bersama-sama membangun visi pernikahan yang sesuai dengan nilai-nilai dan impian kalian berdua.
Ingat, pernikahan yang paling berhasil adalah yang dibangun oleh dua orang yang terus berkembang bersama. Bukan yang tidak pernah merasa takut, tapi yang berani menghadapi ketakutan itu bersama-sama.