ilustrasi calon menantu dan mertua (vecteezy.com/ Titiwoot Weerawong)
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menjadi target ospek dibanding laki-laki. Perempuan diharapkan mampu menyesuaikan diri, bersikap penurut, dan menunjukkan bahwa mereka layak menjadi bagian dari keluarga baru. Sementara itu, laki-laki jarang mendapat ujian serupa karena masyarakat masih menempatkan mereka sebagai pihak yang “membawa” pasangan ke dalam keluarga. Ketimpangan ini mencerminkan bias patriarki yang belum hilang. Tidak heran jika banyak perempuan merasa cemas memasuki tahap perkenalan keluarga karena khawatir dipandang rendah atau ditolak.
Ketidakadilan ini membuat banyak perempuan menunda atau bahkan takut menikah. Ini bukan karena tidak siap secara emosional, tetapi karena takut tidak bisa memenuhi ekspektasi keluarga pasangan. Tekanan semacam ini menciptakan ketidaksetaraan sejak awal. Padahal, pernikahan seharusnya berangkat dari kesetaraan. Idealnya, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya menghadapi perlakuan yang sama. Jika masyarakat terus membenarkan praktik ospek, pola ini akan terus melanggengkan diskriminasi. Pertanyaannya, apakah kebahagiaan rumah tangga memang harus bergantung pada sejauh mana perempuan sanggup bertahan menghadapi ujian keluarga suami?
Fenomena ospek calon menantu memperlihatkan bahwa relasi keluarga di Indonesia masih sering dilandasi rasa curiga dan ketidaksetaraan. Alih-alih menjadi ruang penerimaan, keluarga justru berpotensi menjadi sumber luka awal bagi hubungan baru. Pada akhirnya, pernikahan bukan tentang siapa yang berhasil melewati ospek, melainkan siapa yang sanggup membangun kepercayaan sejak awal.