Kau Puisi yang Tak Pernah Kumiliki, Tapi Kau akan Tetap Abadi Sebagi Puisi yang Kucipta

Artikel ini merupakan hasil karya peserta kompetisi menulis #CintaDalamKata yang diadakan oleh IDNtimes.com. Kalau kamu ingin artikelmu eksis seperti ini, yuk ikutan kompetisi menulis #CintaDalamKata! Informasi lebih lengkapnya, kamu bisa cek di sini.
Semoga ini yang terakhir. Surat cinta yang kutulis untukmu, yang tak pernah sampai betul-betul. Seperti hatimu yang tak pernah sungguh-sungguh.
Andai aku lebih berani mengutarakan rasa, apa kau akan menerima? Kau hidup dengan istimewa, sementara aku hanya anai-anai di pikiranku sendiri. Matahari tak sepanas kemarin, tapi hatiku tetap kering. Menunggu mati sambil berharap yang baik akan hadir serupa wajahmu, dan matamu yang teduh. Namun kau pergi, meninggalkan sakit yang mengiris nadi. Kabut di mataku semakin tebal, dan kehangatanmu hilang terbawa senyum perempuan lain. Aku sadar diri, tapi kau manis sekali hingga kuterbuai ekspektasi.

Ingin kutuliskan ini sejak dulu padamu. Perasaanku. Harapanku. Namun takutku lebih besar dibanding hutan mangrove. Kau tak akan paham, sebab kau lelaki. Mungkin cinta memang tak ingin mampir pada perempuan yang senang menyendiri. Dalam jarak yang sunyi ini, berkali-kali kuberpikir, bahwa kau tahu perasaanku sejak dulu, bahwa kau tahu aku menyukaimu sejak awal kuperkenalkan diriku padamu.
Tapi kau, bocah ingusan yang terjebak dalam tubuh pria dewasa — bergaya seolah tak ada apa-apa. Begitukah? Aku tak akan menuduhmu jahat, walau sesuatu di dalam diriku terus bergejolak, berteriak, kau sangat jahat! Tapi kau yang membuatku kuat. Terimakasih untukmu.
Kau adalah hujan yang kutunggu-tunggu.

Dua tahun lalu, kutemui kau di sudut tembok abu-abu. Kau duduk menghisap rokokmu, wajahmu terendam asap yang mengepul, dan di matamu kulihat awan, hujan, sekaligus matahari yang hampir tenggelam. Kau indah, dan hidupmu istimewa. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, tapi petir membunyikan sesuatu di dadaku. Geledak, geleduk, geledak, geleduk, oh, aku jatuh hati padamu.
Kau bukan yang pertama membuatku jatuh hati pada pandangan pertama, karena aku memang perempuan yang selalu jatuh cinta pada pandangan pertama. Dari mata para lelaki aku biasa menyelam, aku tahu mana yang menelan, dan yang menenggelamkan. Dan di matamu, aku siap tertelan, dan tenggelam.
Aku tahu kau istimewa. Setidaknya di mataku. Kau tak pernah tahu, bahwa hal yang paling membuatku jatuh hati ialah kau seseorang yang selama ini kuciptakan dalam dongengku. Kau seseorang yang baik itu. Kau yang hidup di kepalaku. Aku membutuhkanmu.
Bersamamu, aku ingin berlabuh.

Kau lelaki penyuka puisi, kau menggambar, kau suka membaca, dan mendengarkan musik. Kau tak takut sendiri walau kau memiliki teman yang banyak. Kau lembut, dan tak banyak bicara. Seleramu baik. Dirimu pun baik. Aku merasa Tuhan telah membangunkanku dari tidur panjangku, dan mempertemukan kita di balik asap yang berbentuk tanda tanya. Aku menyukaimu, dan semua puisi-puisimu. Sekali lagi aku merasa, bahwa ini campur tangan Tuhan.
Andai kata ini percuma, mungkin bagi orang lain, bagiku tidak. Tak ada yang sia-sia untuk sebuah kejujuran. Aku tak perlu lelah membatin, dadaku takkan sesak diteriaki perih. Aku mencintaimu. Semoga kau membaca ini.
Tapi mencintaimu, aku tak dapat bertepuk tangan.

Cintaku bertepuk sebelah tangan. Cinta ini, entah ekspektasi saja, atau aku memang cocok menjadi permainan. Mungkin kau tak salah, aku yang salah. Aku terlalu berharap, tapi aku tak pernah menyerah. Mungkin kau pun tak ingin baik padaku, hanya aku yang genit, maka kau tak enak hati.
Perasaanku kuat sekali terhadapmu, aku selalu merasa bahwa kau diam-diam juga menyukaiku, bahkan lebih dalam dari perasaanku terhadapmu. Tapi aku pun sekecil semut, selalu merasa takut tentang apapun. Bukan hanya takut kehilangan, tapi takut juga memulai, bahkan takut ketika tahu bahwa kau juga menaruh rasa yang sama padaku, melebihi ketakutanku pada kesalahan-kesalahan di pikiranku.
Dan sekarang, aku tahu bahwa sebetulnya kau sudah punya kekasih. Aku harap yang kemarin-kemarin itu bukan karena kau kasihan padaku. Kau menjadi teman, kau baik. Tapi ketika senyummu mewah di samping perempuan itu, kau bagai peluru yang menusukku. Aku mati dalam raga yang berdiri. Aku menangis dalam mata yang berbinar. Aku bunuh diri, tapi tak mati-mati.
Hujan itu tinggal gerimis, dan rintik-rintik kecil bertahan di pipiku hingga kini, walau panas terik memeluk dadaku di dalam dingin. Kupikir kita bisa bergandengan setelah itu, atau dongengku betul-betul tiba di bibirmu. Aku bahkan sudah berencana untuk memberimu puisi tiap pagi, meminjamkanmu buku-buku, dan menyanyikan lagu setiap malam sebelum kau berangkat tidur.
Tapi kau tak memberiku kesempatan untuk mendengarkan isi kepalamu. Kau menjauhiku, dan memamerkan cintamu dengan perempuan itu. Tanpa membalas pesanku yang berkali-kali kukirim, tanpa peduli bahwa aku... hanya makhluk yang menyedihkan.
Dan mungkin memang harus begini. Peluklah gadis yang kau cintai, sementara aku memeluk diriku sendiri.

Masa akan mematikan rasa. Kau mungkin mati di hatiku, tapi bukan di kepalaku. Kau mungkin hilang sebagai manusia, tapi abadi sebagai puisi yang kucipta. Kau puisi yang tak pernah kumiliki.
Kau benar-benar menghilang. Seolah ini cara yang paling benar. Kau meninggalkan sesuatu dalam diriku. Menancap hingga ke hulu. Kau sematkan cintaku pada dinding tanpa nama, kau biarkan rinduku tak bermuara. Guntur menjerit di telingaku, memecahkan hatiku hingga patah. Tidak bisakah kita berkawan? Mengapa kau pergi tanpa perasaan?
Tapi kau hujanku, seburuk apapun kau, kutetap menyukaimu. Aku mencintaimu, dan tak menyesal akan itu. Kau puisi-puisiku.