Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi menikah
ilustrasi menikah (vecteezy.com/Anatolii Cherkas)

Intinya sih...

  • Banyak orang menikah karena tekanan sosial membuat mereka sulit membedakan keinginan pribadi dan ekspektasi lingkungan.

  • Perbandingan dengan teman sebaya dan rasa takut dinilai negatif mendorong keputusan menikah yang terburu-buru.

  • Kurangnya ruang aman untuk mengakui ketidaksiapan membuat pernikahan kerap dijadikan jalan pintas tanpa kesiapan mental.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menikah sering dianggap sebagai langkah hidup yang wajib dilakukan sehingga banyak orang merasa terburu-buru hanya karena lingkungan mulai bertanya atau mengarahkan ke sana. Situasi ini membuat sebagian orang sulit membedakan mana keputusan pribadi dan mana dorongan dari luar yang sebenarnya tidak pernah mereka inginkan. Kondisi tersebut kerap menimbulkan dilema, terutama ketika seseorang merasa berada di persimpangan antara ekspektasi sosial dan kebutuhan diri.

Perasaan tidak ingin tertinggal juga bisa muncul begitu kuat sampai mengaburkan alasan awal mengapa menikah itu penting bagi mereka. Banyak yang akhirnya memilih jalan aman agar tidak dianggap berbeda meski belum siap sepenuhnya. Fenomena ini membuat proses menikah terasa seperti perlombaan yang harus dikejar tanpa mempertimbangkan kesiapan mental. Berikut pembahasan yang lebih rinci.

1. Dorongan lingkungan membuat orang sulit menentukan keinginan sendiri

ilustrasi menikah (vecteezy.com/Александра Вишнева)

Pertanyaan yang sering muncul dari keluarga atau kerabat tentang kapan menikah lama-kelamaan membuat sebagian orang tertekan. Mereka yang sebenarnya belum ingin menikah jadi mempertimbangkan pilihan itu hanya untuk menghindari komentar yang membuat suasana tidak nyaman. Kondisi ini menciptakan kebingungan karena keinginan pribadi tidak sempat dipikirkan dengan tenang. Akhirnya, keputusan yang seharusnya datang dari diri sendiri berubah menjadi jawaban atas permintaan lingkungan sekitar.

Dorongan semacam ini sering membuat seseorang sulit menyampaikan pendapat jujur tentang rencana hidupnya. Ada perasaan takut mengecewakan orang lain, terutama ketika keluarga besar sangat aktif membahas soal menikah. Beberapa orang memilih diam daripada harus menjelaskan alasan mereka belum siap.

2. Perbandingan dengan teman sebaya membuat orang merasa tertinggal

ilustrasi menikah (vecteezy.com/Vasil Docinets)

Melihat teman sebaya sudah menikah sering memunculkan rasa tidak nyaman, seolah orang lain bergerak lebih cepat dalam kehidupan. Banyak orang mulai mempertanyakan diri sendiri meski sebenarnya hidup tidak memiliki waktu yang sama untuk semua orang. Perasaan tertinggal ini kemudian mendorong keputusan yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan kesiapan. Pada titik tertentu, seseorang bisa merasa perlu “mengejar” sesuatu yang sebenarnya bukan target pribadinya.

Perbandingan ini berlangsung tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di media sosial yang memperlihatkan pernikahan sebagai pencapaian besar. Foto dan unggahan manis sering membuat seseorang merasa nilai dirinya menurun ketika belum menikah. Ketika tekanan batin semakin besar, keputusan untuk menikah bisa muncul bukan karena kebutuhan, melainkan demi mengurangi perasaan berbeda. Tanpa disadari, langkah itu dipilih untuk mencapai standar yang dibentuk oleh sekitar.

3. Kekhawatiran akan penilaian negatif membuat orang mengambil jalan pintas

ilustrasi menikah (vecteezy.com/Vasil Docinets)

Beberapa orang takut dianggap tidak laku, terlalu pemilih, atau bahkan “bermasalah” ketika usia tertentu belum menikah. Label semacam ini membuat seseorang merasa harus segera menentukan pasangan agar tidak menjadi bahan omongan. Situasi ini menciptakan keputusan instan yang hanya berfokus pada penilaian orang lain, bukan tentang kesiapan membangun hubungan jangka panjang. Pada akhirnya, menikah dipandang sebagai cara untuk meredam komentar yang tidak diinginkan.

Kekhawatiran tersebut membuat proses memilih pasangan menjadi sangat cepat. Yang penting pasangan cocok secukupnya dan bisa diajak menikah, tanpa memikirkan kualitas hubungan sehari-hari. Banyak orang akhirnya sadar bahwa keputusan seperti ini tidak membawa kepuasan jangka panjang, tetapi perasaan lega sesaat karena sudah memenuhi harapan sosial. Kondisi inilah yang kemudian memicu pertanyaan baru: apakah keputusan tersebut benar-benar mencerminkan kebutuhan diri?

4. Pemahaman keliru tentang kebahagiaan setelah menikah

ilustrasi menikah (vecteezy.com/Viorel Kurnosov)

Ada anggapan bahwa menikah otomatis membawa kebahagiaan sehingga seseorang merasa akan “baik-baik saja” setelah melakukannya. Pandangan ini membuat pernikahan jadi solusi instan untuk rasa kesepian atau kebingungan hidup, padahal kenyataannya butuh kesiapan mental yang matang. Ketika pernikahan dijadikan jawaban atas masalah pribadi, keputusan tersebut kehilangan tujuan yang realistis. Banyak orang akhirnya menikah sebelum memahami apa yang sebenarnya mereka butuhkan dari hubungan.

Pemahaman keliru ini membuat proses mengenal pasangan sering dikesampingkan. Yang terpenting ialah memenuhi gambaran sosial bahwa menikah merupakan bentuk hidup yang “berhasil”. Ketika pernikahan sudah berjalan, barulah banyak orang menyadari bahwa kebutuhan pribadi belum terpenuhi karena keputusan tidak dipikirkan secara matang. Situasi ini sering menimbulkan tekanan baru yang lebih berat daripada sebelum menikah.

5. Minimnya ruang untuk bercerita membuat orang sulit mengakui ketidaksiapan

ilustrasi menikah (vecteezy.com/Volodymyr Herasymchuk)

Tidak semua orang memiliki ruang aman untuk bercerita bahwa mereka belum ingin menikah. Mereka takut dianggap aneh atau tidak serius menjalani hidup sehingga memilih mengikuti arus tanpa berdiskusi lebih jauh dengan orang terdekat. Situasi ini membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk mempertimbangkan keputusan berdasarkan kebutuhan diri. Ketidaksiapan akhirnya tidak pernah dibahas dan keputusan besar diambil dalam keadaan bingung.

Ketika tidak ada ruang untuk menyampaikan pendapat, proses memikirkan masa depan menjadi terbatas. Seseorang yang sebenarnya ingin menunda menikah tidak punya tempat untuk menjelaskan alasannya secara jujur. Karena itu, keputusan menikah yang muncul bukan hasil pemikiran matang, melainkan upaya untuk tetap diterima oleh lingkungan. Minimnya ruang dialog membuat seseorang sulit menyadari bahwa menunda menikah bukan kesalahan.

Menikah tanpa kesiapan sering berawal dari dorongan sekitar yang lebih kuat daripada suara hati sendiri. Setiap orang punya waktu dan kebutuhan yang berbeda sehingga keputusan besar tidak harus mengikuti kecepatan orang lain. Jika pilihan hidupmu sekarang belum sejalan dengan ekspektasi lingkungan, apakah kamu benar-benar perlu terburu-buru?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorYudha ‎