5 Alasan Kenapa Denial Justru Menyakitimu Lebih Lama

- Denial menunda proses penyembuhan emosional, memperpanjang rasa sakit yang seharusnya bisa dihadapi dan disembuhkan lebih awal.
- Denial membuat seseorang terjebak di masa lalu, sulit menerima kenyataan bahwa sesuatu telah berubah atau berakhir.
- Denial mengacaukan pengambilan keputusan, membuat orang cenderung membuat keputusan berdasarkan harapan semu, bukan realitas.
Dalam hidup, kita semua pasti pernah menghadapi kenyataan yang sulit: kehilangan orang terkasih, putus cinta, kegagalan karier, atau bahkan kebenaran pahit tentang diri sendiri. Di saat-saat seperti ini, tak jarang kita memilih untuk menyangkal kenyataan tersebut atau dalam istilah psikologi disebut dengan denial. Meskipun tampak seperti cara bertahan yang efektif, sebenarnya denial bisa menjadi pedang bermata dua.
Alih-alih membantu, denial justru bisa memperpanjang rasa sakit yang seharusnya bisa kita hadapi dan sembuhkan lebih awal. Berikut adalah lima alasan kenapa denial justru menyakitimu lebih lama.
1. Menunda proses penyembuhan emosional

Denial membuatmu menolak kenyataan, dan tanpa mengakui kenyataan, kamu tidak bisa memulai proses penyembuhan. Sama seperti luka fisik yang tidak dibersihkan akan menjadi infeksi, luka emosional yang tidak diakui akan memburuk seiring waktu.
Dengan menyangkal perasaan sedih, kecewa, atau marah, kamu hanya menunda rasa sakit bukan menghilangkannya. Akibatnya, emosi-emosi itu akan tetap ada dan membebanimu lebih lama dari seharusnya.
2. Membuatmu terjebak di masa lalu

Ketika kamu terus-menerus menyangkal sesuatu yang sudah terjadi, kamu secara tidak sadar terus hidup di masa lalu. Denial membuatmu sulit menerima kenyataan bahwa sesuatu telah berubah atau berakhir.
Ini bisa membuatmu sulit move on, baik itu dari hubungan, kegagalan, atau bahkan kehilangan. Kamu terus berharap situasi akan kembali seperti semula, padahal dunia sudah bergerak maju tanpa kamu.
3. Mengacaukan pengambilan keputusan

Orang yang berada dalam fase denial cenderung membuat keputusan berdasarkan harapan semu, bukan realitas. Misalnya, kamu tetap bertahan dalam hubungan yang toksik karena tidak mau mengakui bahwa pasanganmu tidak akan berubah.
Atau kamu menolak menerima bahwa pekerjaanmu tidak lagi sesuai dengan tujuan hidupmu. Akibatnya, kamu bisa terus membuat keputusan yang salah dan menjerumuskan dirimu lebih dalam ke dalam situasi yang menyakitkan.
4. Memengaruhi kesehatan mental dan fisik

Stres yang terpendam akibat denial bisa berdampak besar pada kesehatan mental dan fisik. Emosi yang ditekan terlalu lama bisa menimbulkan kecemasan, depresi, insomnia, dan bahkan penyakit psikosomatis.
Tubuh dan pikiranmu sebenarnya mencoba memberitahumu bahwa ada sesuatu yang salah, tetapi kamu terus menyangkalnya. Ini seperti membiarkan alarm terus berbunyi tapi tidak pernah mencari sumber masalahnya.
5. Menghambat pertumbuhan pribadi

Rasa sakit adalah bagian dari proses tumbuh. Kita belajar banyak dari kegagalan, kehilangan, dan rasa kecewa. Tapi jika kamu menyangkal semua itu, kamu kehilangan kesempatan untuk belajar dan berkembang.
Denial membuatmu stagnan, berada di zona nyaman yang sebenarnya penuh ketidakbahagiaan. Kamu melewatkan peluang untuk menjadi versi diri yang lebih kuat dan bijaksana hanya karena takut menghadapi kenyataan.
Denial adalah mekanisme pertahanan diri yang sangat manusiawi ia bisa membantumu bertahan di awal, tapi bukan solusi jangka panjang. Mengakui kenyataan memang menyakitkan, tetapi hanya dengan menghadapinya kamu bisa benar-benar sembuh dan melangkah maju. Jangan biarkan denial mencuri waktumu dan memperpanjang penderitaanmu.