ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Kindel Media)
Fenomena laki-laki yang ingin pasangan seperti ibunya juga mencerminkan realitas gender di masyarakat. Perempuan sejak lama ditempatkan pada ranah domestik, sehingga laki-laki tumbuh dengan anggapan bahwa itulah peran utama perempuan. Akibatnya, ekspektasi mereka cenderung mengulang peran lama yang sudah dikenalnya sejak kecil. Perempuan modern menolak hal itu, karena mereka ingin pasangan yang bisa berbagi tanggung jawab dan memberi ruang setara.
Ketegangan ini memperlihatkan pergeseran zaman. Jika dulu perempuan tidak punya banyak pilihan, kini semakin banyak yang menuntut kesetaraan dalam keluarga. Laki-laki yang masih berpegang pada pola lama akan sulit memahami perubahan ini, sehingga benturan nilai kerap terjadi. Fenomena ini seharusnya membuka ruang refleksi, bahwa hubungan yang sehat tidak lagi bisa dibangun dengan mengulang masa lalu, melainkan dengan menegosiasikan ulang peran secara setara.
Fenomena laki-laki yang ingin pasangan hidup seperti ibunya bukan hanya urusan pribadi, melainkan hasil dari memori masa kecil, pola asuh, serta konstruksi sosial yang terus diwariskan. Perempuan justru banyak belajar dari ibunya untuk mencari pasangan berbeda demi kehidupan yang lebih setara. Dari sini terlihat bahwa pertanyaan tentang pasangan ideal bukan sekadar soal selera, melainkan cermin dari dinamika gender yang masih berlangsung hingga hari ini.