TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Karina Negara Kembangkan Aplikasi Konseling Online KALM

#IDNTimesLife Bermula dari senang mendengarkan cerita teman

dok. Istimewa/ Karina Negara, Psikolog dan Co-Founder KALM

Seiring berkembangnya industri digital, berbagai aplikasi mulai unjuk diri memberikan pelayanan terbaik. Salah satu yang bukan lagi awam di telinga millennials adalah KALM (@get.kalm), sebuah aplikasi konseling online yang mewadahi pengguna melakukan konseling bersama profesional lewat ponsel mereka. Hadir dengan #KitaPerluCerita, Chief Psychologist and Co-Founder KALM Karina Negara, meluncurkan KALM pada 7 Oktober 2018 bersama rekan-rekannya.

Bagaimana awal mula perempuan bernama lengkap Karina Aelyo Nindyo Kusuma Negara ini mengawali karier sebagai psikolog serta memilih concern menangani isu kesehatan mental? Diwawancarai secara ekslusif oleh IDN Times pada (23/02/2021), berikut cerita Karina Negara kembangkan aplikasi konseling online KALM. 

1. Latar belakang Karina memilih karier sebagai psikolog

dok. Istimewa/ Karina Negara, Psikolog dan Co-Founder KALM

Ketika ditanya apa yang menjadi pemicu untuk memilih karier di bidang psikologi, perempuan kelahiran Jakarta, 4 November 1991 itu menceritakan awal mula minatnya dalam menekuni bidang ini. 

"Itu panggilan hidup saya. Artinya kalau panggilan hidup itu tarikan atau dorongan. Kalau yang sudah menemukan panggilan hidupnya pasti sudah tahu bahwa itu kuat sekali," terangnya. 

Ada dua kejadian yang membuat Karina memantapkan diri memilih karier sebagai psikolog. Pertama saat usianya 7 tahun, setelah ia dibawa mamanya pergi ke psikolog untuk tes IQ. Kemudian kedua ketika mengikuti career week di SMP. Saat itu sekolahnya meminta Karina refleksi diri mengenai cita-cita yang ingin ia tekuni nanti. 

"Bahkan sampai hari ini posternya masih ada. Intinya apa cita-citamu dan kenapa mau jadi itu, jadi gak cuman 'apa', tapi detail. Itu kerjaan ngapain, gajinya berapa, terus prospeknya gimana, untuk menjadi itu harus menempuh pendidikan apa saja, termasuk refleksi," tambah perempuan lulusan S2 Psikologi di Universitas Indonesia (UI) itu.

Sejak usia 7 tahun, Karina mulai menikmati momen tiap kali mendengarkan orang bercerita. Ia senang berbincang bersama teman-teman perempuan di sekolah. Pembahasannya pun beragam, mulai dari topik masalah dengan teman lain, gebetan, sampai saat ada teman yang berantem dengan mamanya. Ia antusias ketika memberikan ide perihal persoalan yang dihadapi teman-teman di sekolah.

"Waktu sudah jadi profesional, menjadi psikolog itu bukan kasih saran, tapi si klien harus come out with idea themselves. Aku cuma membantu mereka berpikir kritis dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Psikolog itu intinya asking powerful questions and  menjadi Behavioral Analyst, tambahnya.  

2. Alasan mengembangkan aplikasi konseling online KALM

dok. Istimewa/ Karina Negara, Psikolog dan Co-Founder KALM

Bermula dari banyaknya hambatan klien untuk mendapat layanan konsultasi dari psikolog, Karina bersama dua rekannya menyadari perlu ada solusi dengan membuat aplikasi konseling online. Menurutnya, masih banyak kendala seperti jauhnya tempat layanan psikologi yang bukan hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga berbagai daerah di Indonesia.

"Jadi gak masuk akal untuk kayak, 'Iya gua butuh konseling tapi gua harus jalan jauh banget'. Itu bikin tambah stres bukannya bikin tenang. Di Jakarta pun, jauh juga dan macet kan gitu. Walaupun sudah ketemu psikolog yang tepat, bisa macet, jauh, terus ada stigma 'Aduh gua harus pergi ke tempat konseling atau psikolog'. Itu hakikatnya sampai sekarang masih ada meski sudah lebih baik," tambah psikolog yang menamatkan studi S2 dengan peminatan Psikolog Klinis Anak di UI itu.

KALM ingin menghilangkan akar masalah yang selama ini ada, yakni hambatan dan stigma klien saat bertemu dengan profesional atau psikolog. Dengan adanya pandemik, KALM justru menjadi layanan yang mewadahi siapa saja berkonsultasi dalam situasi yang gak ideal untuk bertatap muka langsung.

"Itu sih, jadi kami merasa butuh ada layanan seperti ini untuk semua orang. Untuk orang-orang yang gak tahu mesti bagaimana mendapatkan layanan kesehatan mental yang mereka butuhkan," paparnya.

3. Berbeda dengan layanan konseling online lain, aplikasi KALM memiliki lebih banyak pendekatan dengan pengguna

dok. UK British Council Future Leaders Connect (October 2019)/ Karina Negara, Psikolog dan Co-Founder KALM

Saat ditanya apa yang membedakan KALM dengan layanan konseling lain, Karina mengatakan salah satu pendekatan pada KALM yakni menggunakan ongoing chat. Aplikasi yang diluncurkan pada 7 Oktober 2018 ini bahkan merupakan aplikasi konseling di Indonesia pertama yang hadir di platform iOS dan Android. 

"Kami memilihnya karena secara penelitian, ada riset ternyata lebih efektif ketika klien gak terburu-buru cerita dan gak terburu membalas. Konselornya juga gak terburu-buru. Jadi bisa dibaca dulu, bisa dipikirin dulu tanggapannya, baru ketika dia ada waktu lalu dibalas," ungkap perempuan yang juga lulusan Bachelor of Arts in Psychology di University of Queensland itu.

KALM kini juga menyediakan layanan video counseling per 50 menit. Pada intinya, terdapat lebih banyak pendekatan dengan klien untuk terhubung dengan psikolog di aplikasi KALM. Bahkan, pengguna dapat leluasa berkonsultasi menggunakan Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris bersama konselor yang biasa disebut Kalmselor.

Baca Juga: Cerita Soraya Cassandra Merawat Alam Melalui Kebun Kumara

4. Klien paling berkesan yang pernah Karina tangani

dok. Istimewa/ Karina Negara, Psikolog dan Co-Founder KALM

Menurutnya, ada banyak kesan yang ia alami sepanjang menjalani profesi ini. Berempati ketika mendengar cerita klien, bisa excited dengan kasus yang sulit dihadapi, hingga mendampingi klien dengan kasus yang membuatnya bingung.

Walau sebagai psikolog, gak lagi ada banyak hal yang dapat membuatnya terkejut. Saat ditanya kasus yang paling berkesan karena keunikannya, lantas ia mengungkapkan ketika menemui klien dengan kasus gender dysphoria. 

"Itu harus dijalani prosesnya dan konselingnya, untuk sampai di titik yakin sendiri. Bukan aku yang bilang itu gender dysphoria, itu bukan tempatnya psikolog buat bilang kayak gini. Atau kamu gak boleh kayak gitu atau kamu harus begini. Jadi, menarik karena kita jalan bareng, aku menemani dia trying to figure it out. Itu menarik karena aku bisa belajar," terang perempuan yang memiliki hobi mencoba restoran baru itu.

5. Tips membangun support system saat pandemik

dok. UK British Council Future Leaders Connect (October 2019)/ Karina Negara, Psikolog dan Co-Founder KALM

Selain membagikan pengalamannya sebagai psikolog, Karina membagikan tips pada IDN Times perihal bagaimana seseorang membangun support system di tengah gempuran pandemik belakangan ini. 

"Ketika bertanya seperti itu ke diri sendiri, siapa yang aku pikir bisa menjadi support system? Sebutkan nama orang-orang itu siapa aja. Kalo gak bisa jawab, artinya ya langsung nyari. Aku ditanya itu ya gampang, utama my best friends sih. Tapi, gak semua orang punya sahabat. Kalau aku gak ada sahabat, gak akan kayak gini, which is very good. At the moment I'm very good, very happy," terangnya.

Menurutnya, support system juga gak selalu harus dari keluarga. Sebab, apabila keluarga tersebut justru memiliki perilaku toxic, maka akan menambah kesehatan mental seseorang menjadi bobrok.

"Langkah pertama kenal diri, literally kenalan sama diri sendiri. Ini klise tapi benar, sahabat terbaik kita adalah diri kita sendiri karena hanya kita yang akan selalu ada buat kita. Ini kita gak bisa keluar rumah, literally refleksi diri saja. Dengan tetap menjaga hubungan baik bersama keluarga dan teman-teman," ujarnya. 

Baca Juga: Kisah Asri Wijayanti Berdayakan Penjahit Lokal lewat Jahitin.com

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya