TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Fakta Toxic Feminity, Saat Perempuan Terjebak Stigma

Tanpa sadar masih sering terjadi

ilustrasi perempuan sedang sedih (pexels.com/cottonbro)

Toxic femininity (feminitas beracun) merupakan sebuah istilah yang secara luas mengacu pada tekanan yang dihadapi oleh perempuan terhadap nilai binerisme gender mereka. Praktik ini sering kali menyertakan tindakan perempuan untuk "tetap tunduk" dalam menghadapi dominasi dan agresi dari pihak laki-laki.

Toxic femininity beranggapan bahwa perempuan secara harfiah kurang memiliki hak dan pilihan. Hal tersebut lebih sering dikaitkan dengan hubungan perempuan dengan seorang laki-laki. Ini melibatkan figur seorang ayah yang kemudian setelah menikah diambil alih oleh suami si perempuan.

Feminitas beracun mengklaim bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang pendiam, penurut, menarik, dan penuh perhatian. Jadi, dalam hal ini perempuan didefinisikan dengan cara yang sangat dangkal dengan membudayakan objektifikasi perempuan.

1. Toxic femininity bisa bermula dari pikiran dan tindakan si perempuan

ilustrasi memarahi anak perempuan (pexels.com/RODNAE Productions)

Toxic femininity mencakup segala bentuk tindakan atau pikiran (yang dilakukan oleh perempuan) yang memberi keuntungan kepada orang lain, namun mengorbankan kesejahteraan mental dan emosionalnya. Hal ini dipandang sebagai pelengkap toxic masculinity karena sosok perempuan sering kali dianggap sebagai milik laki-laki yang mendominasi segala aspek kehidupan perempuan. 

Mencengangkannya lagi, toxic femininity cenderung memandu perempuan bahwa pengalaman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadapnya adalah bentuk dari kegagalan. Dengan begitu, secara tidak langsung praktik toxic femininity akan menormalisasi tindak kekerasan pada perempuan.

2. Aturan tertentu dalam praktik toxic femininity

ilustrasi tindak kekerasan pada perempuan (pexels.com/Karolina Grabowska

Toxic femininity memiliki ragam aturan khusus yang termanifestasi ke dalam tindakan sehari-hari. Berdasarkan penelitian dan referensi budaya populer, komponen inti dari aturan khusus toxic femininity meliputi:

  • Docile: berupa gagasan yang mengharuskan perempuan untuk selalu siap menerima kontrol atau instruksi. Perempuan harus menjalani hidup untuk melayani dan fleksibel dalam berpikir.
  • Hyper-femininity: melibatkan kepatuhan secara ketat terhadap stereotip perilaku feminin. Perilaku ini diperkuat melalui hukuman, seperti dianggap bersalah karena mengalami kekerasan berbasis gender dan disebut pelacur karena menunjukkan tindakan menggoda.
  • Policing of femininity: upaya menekan perempuan lain untuk meniru perilaku yang dianggap feminin, misalnya melontarkan ujaran negatif atas pilihan seseorang untuk childfree (tidak ingin memiliki anak).
  • Sabotaging by abusing traditionally feminine qualities: mengacu pada gagasan bahwa semua perempuan saling bersaing untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari laki-laki. Mirisnya lagi, seseorang dapat bertindak merugikan atau membenci perempuan sebagai sarana untuk membuktikan keunggulannya. Upaya yang mungkin dilakukan seperti menyebarkan gosip atau desas-desus sebagai maksud ancaman pengucilan sosial.

Baca Juga: Kenali Toxic Relationship, Racun yang Bikin Hidupmu Hancur

3. Toxic femininity adalah produk dari masyarakat patriarki

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Gagasan toxic femininity semakin menyangkal identitas perempuan. Sementara itu, kemunculannya telah dikaitkan dengan masyarakat yang kental akan budaya patriarki. Adapun penggunaan istilah toxic femininity akan menyebarkan stereotip berbahaya dari perilaku feminin itu sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan sering dilabeli sebagai makhluk yang sangat emosional, manipulatif, dan suka bergosip. Stereotip berbahaya tersebut justru hanya akan menambah kesan negatif pada perempuan. Apabila praktik toxic femininity terus terjadi dan terakumulasi secara masif, maka bukan tidak mungkin akan memberi dampak terhadap ketidaksetaraan gender dalam pranata sosial kehidupan bermasyarakat.

4. Dampak toxic femininity

ilustrasi bekerja di kantor (pexels.com/Mikhail Nilov)

Toxic femininity bisa sangat berbahaya karena menempatkan perempuan sebagai objek yang dapat dikontrol secara kontradiktif. Perempuan seolah harus menerima tekanan yang dianggap lumrah dalam setting masyarakat, misalnya tekanan untuk diam dan selalu tunduk pada peran dominasi laki-laki.

Selanjutnya, menyangkut persoalan karir. Praktik toxic femininity dapat menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan kerja yang tentu akan memengaruhi kondisi kesehatan mental si perempuan. Selain itu, dengan menghalangi perempuan untuk mengembangkan karir, maka akan merugikan pihak perempuan dan sistem patriarki menjadi semakin mengganas.

Baca Juga: 10 Perilaku Seksisme yang Tanpa Sadar Sering Kita Lakukan, Mau Berubah?

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya