TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Hal Mengenai Pemberitaan Kekerasan Seksual yang Harus Diketahui

Jurnalis laki-laki pun ambil peran yang besar

(KIka) Moderator, Desi Ardiana (Supervising Editor CNNTV), Evi Mariani (Managing Editor The Jakarta Post) saat acara Jurnalis Perempuan Berbicara. 27 Februari 2020. IDNTimes/Nadin Azani

Kekerasan seksual marak terjadi di Indonesia, banyaknya hal ini dapat terlihat dari maraknya berita ataupun video yang viral di media sosial. Melakukan pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang merupakan isu yang sensitif memang harus sangat berhati-hati karena bisa saja melukai korban ataupun keluarganya.

Berikut 5 hal mengenai pemberitaan kekerasan seksual pada wanita yang dirangkum dari acara Jurnalis Perempuan Bicara yang dihadiri Evi Mariani (Managing Editor The Jakarta Post) dan Desi Ardiana (Supervising Editor CNNTV)  berlangsung di Komnas Perempuan, Jakarta (27/2).

1. Kesiapan korban untuk berbicara pada media

Suasana diskusi acara Jurnalis Perempuan Berbicara. 27 Februari 2020. IDNTimes/Nadin Azani

Mewawancarai korban pelecehan seksual secara langsung, menjadi dilema bagi beberapa jurnalis. Kondisi psikis dari korban yang belum stabil, dapat menyebabkan luka lebih dalam.

Karena itu, wawancara dengan korban sangat dihindari. Kecuali, jika korban sudah siap dan bersedia.

"Kalau korban ragu, jangan dipaksa. Karena gini, kami senang ketika ada korban yang mau ngomong, apalagi kalau motivasinya tulus dan pengen ini (kekerasan seksual) berhenti," ujar Evi Mariani.

2. Korban lebih berani untuk speak up

Pixabay

Pada zaman sekarang, korban mulai banyak yang berani untuk speak up mengenai kekerasan yang terjadi padanya. Seperti membobol tanggul, ketika ada satu orang yang berbicara, korban-korban lain pun mulai terbuka. 

Dengan adanya korban yang mau berbicara, tentu saja merupakan berita baik. Namun, para jurnalis dan lembaga bantuan hukum perlu meyakinkan mereka yang ingin bicara mengenai konsekuensinya.

Ada beberapa kasus korban yang speak up dan memiliki support system yang baik, sehingga setelah pemberitaan di media, ia dapat bertahan dan melalui itu semua.

Sayangnya, tak semua seperti itu. Ada salah satu kasus korban kekerasan seksual yang mau berbicara pada media, namun ia tak siap akan konsekuensi setelah pemberitaan sehingga semakin terluka. 

Baca Juga: 5 Alasan Kekerasan Verbal Bisa Lebih Parah dari Kekerasan Fisik

3. Peran aktif dari jurnalis laki-laki

IDN Times/Denisa

Akhir-akhir ini, nama-nama universitas besar terseret kasus kekerasan seksual. Hal ini merupakan sebuah gebrakan yang diinisiasi oleh beberapa jurnalis yang sebagian besar merupakan laki-laki.

"Nama Baik Kampus" merupakan kolaborasi yang dilakukan oleh Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia untuk menyelidiki berbagai kejadian pelecehan atau kekerasan seksual di kampus Indonesia.

4. Pembuatan pedoman penanganan kasus kekerasan seksual oleh beberapa universitas

Unsplash/Sydney Sims

Setelah maraknya berita mengenai pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan tinggi di Indonesia, beberapa universitas mengeluarkan kebijakan dengan mengeluarkan pedoman penanganan kekerasan seksual seperti UGM dan UI.

Kementerian Agama pun mengambil peran untuk membuat pedoman penanganan kasus kekerasan seksual untuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Baca Juga: 5 Tindak Kekerasan dalam Hubungan Ini Tidak Boleh Kamu Toleransi!

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya