TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Hal yang Harus Dipahami Saat Merespon Kisah Kasus Kekerasan Seksual

Dimulai dengan mendengarkan & tidak menghakimi korban

Instagram.com/perempuanberkisah

Kisah tentang pelecehan dan kekerasan seksual semakin sering terdengar di ranah media sosial. Ketika menemukan kisah semacam itu, seperti apakah respon yang kamu berikan?

Alimah Fauzan selaku founder dari Perempuan Berkisah membuka diskusi tentang hal tersebut dalam Live Instagram yang digelar pada Sabtu (18/7/2020), pukul 16.30 WIB. Diskusi ini turut menghadirkan Salsabila Surtiwa, Official International Delegation for HWMUN 2020 sebagai moderator.

Selama perjalanan kariernya bekerja sebagai gender specialist, Alimah banyak menemukan kisah menarik dan pembelajaran penting di lapangan. "Ada banyak persoalan yang sangat khas dengan perempuan dan masyarakat perlu tahu itu," tuturnya. Kalau kamu mau tahu lebih dalam tentang konten diskusinya, simak artikel di bawah ini!

1. Cara mendampingi korban, utamakan untuk menjaga kesehatan mentalnya terlebih dahulu

IDN Times/Rizka Yulita & Anjani Eka Lestari

Dalam menanggapi kisah tentang kekerasan dan pelecehan seksual, menurut Alimah ada beberapa hal utama yang harus dilakukan. Yang pertama adalah untuk mendengarkan kisah korban dan memvalidasi apa yang ia ungkapkan.

"Kita percayakan dan dengarkan dia dulu. Karena dia butuh sosok yang gak menghakimi," ujarnya. Selain itu, sangat penting untuk kita sadar batasan dengan gak menggali terlalu jauh ceritanya karena itu mungkin bisa menstimulasi rasa trauma di dalam dirinya.

Ia mengatakan, "Kemudian kita bisa tawarkan bantuan untuk menemaninya ke profesional atau lembaga terkait. Nanti, akan dilihat kasusnya seperti apa".

Setelah melakukan tiga poin di atas, sangat penting bagi orang terdekat korban untuk membantu proses self healing mereka. Bisa dengan cara memberi tahu cara meditasi untuk mengontrol emosi serta membantunya untuk bisa tidur nyenyak di malam hari.

2. Lalu, apa yang harus dilakukan saat itu menimpa diri kita? Menurut Alimah sangat penting untuk paham level piramida kekerasan serta situasi & kondisi kejadian

IDN Times/Rizka Yulita & Anjani Eka Lestari

Level piramida kekerasan dimulai dari candaan sexist serta cat calling. Sedangkan, level tertingginya adalah kasus pembunuhan.

"Pertama kita harus tahu levelnya dulu, lalu kita lihat konteks dan situasinya (offline atau online). Ketiga, kita lihat siapa sosok dia dan seberapa dekat dengan kita," ujar Alimah.

Setelah mengetahui ketiga poin tersebut, korban jadi lebih menguasai situasi. Dan, ini akan berdampak terhadap strategi yang akan dilakukannya. "Meskipun, gak bisa dipungkiri ya kadang kita menyusun strategi tapi pas kejadian malah blank. Tapi, tetap ini adalah bagian dari edukasi diri," tuturnya.

Baca Juga: KemenPPPA: Selama Pandemik Ada 3.087 Anak Jadi Korban Kekerasan

3. Pentingnya menggunakan kalimat asertif ketika merespon sikap dan perkataan pelaku pelecehan seksual

IDN Times/Anjani Eka Lestari

"Kalau online, terus kita gak tahu siapa dia. Kita pikirin tujuan kita bales itu apa. Apakah mau membuat dia merasa sakit hati atau mau mengedukasi," ujar Alimah.

Salah satu kalimat yang sering ia pakai untuk merespon kejadian seperti itu di akun Instagram @perempuanberkisah adalah: "Jangan tunggu sampai orang terdekat atau kamu yang mengalami hal itu".

"Ini bagian dari self boundaries. Kita harus sadar kita punya hak asasi biar kita gak dihina dan dirampas haknya. Salah satunya, dengan pakai kalimat asertif dan setara," tambahnya.

4. Memahami consent gak sebatas tentang aktivitas seksual saja

IDN Times/Rizka Yulita & Anjani Eka Lestari

Dalam sebuah hubungan asmara, consent merupakan salah satu hal yang harus dipahami oleh kedua belah pihak. Apa itu consent? Alimah menjelaskannya sebagai sebuah bentuk persetujuan serta kesepakatan antara partisipan atau pihak yang akan melakukan sesuatu.

"Kesepakatan ini gak bisa dimaknai cuma berdasarkan asumsi," tuturnya. Misalnya, dengan langsung mengartikan respon diamnya atau gelagat malu-malunya sebagai sebuah bentuk persetujuan.

Selain itu, kita juga perlu melihat siapa sosok yang memberikan consent tersebut. Misalnya, anak di bawah usia 18 tahun, orang dewasa yang sedang dalam kondisi lemah atau pun sakit, orang dengan disabilitas, dan sebagainya.

Alimah juga memberikan beberapa contoh kasus yang ia temukan di lapangan di mana consent yang diberikan seseorang dapat berubah tergantung dengan situasi dan kondisi yang dialaminya.

Baca Juga: Sulitnya DPR Membahas Penghapusan Kekerasan Seksual secara Serius

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya