TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Nasib dan Tuntutan Perempuan serta Kelompok Minoritas Saat Pandemik

#IDNTimesLife Ada 7 tuntutan pada Women's March Jakarta 2021

dok. Women's March Jakarta 2021

Women’s March Jakarta (WMJ) adalah sebuah aksi kolektif dari berbagai kelompok masyarakat yang mulai dilaksanakan pada tahun 2017 di Indonesia. Pada tahun keempat penyelenggaraannya, WMJ 2021 mengangkat tema "Perempuan dan Kelompok Minoritas Dalam Pusaran Pandemi".

Diskusi terkait hal tersebut dibahas tuntas dalam konferensi pers virtual yang diadakan pada Senin (19/4/2021), pukul 10.00 WIB. Untuk tahu lebih lengkap mengenai informasi terkait aksi dan tuntutan WMJ 2021, simak artikel berikut ini.

1. Women's March Jakarta 2021 gunakan tagar #PuanDanKawanMelawan untuk suarakan beragam tuntutannya

dok. Women's March Jakarta 2021

Memasuki tahun kedua pandemik COVID-19 di Indonesia, terdapat banyak permasalahan yang menimpa kelompok rentan. Berdasarkan laporan dari LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), ada peningkatan angka pelaporan kasus sebanyak hampir 50 persen dari tahun 2018. Tepatnya, dengan jumlah 798 pengaduan menjadi 1178 pengaduan di tahun 2020.

Kasus kekerasan berbasis gender ini juga terlihat pada peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) serta Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Meningkatnya aktivitas virtual yang menggantikan pertemuan tatap muka, membuat kasus KGBO juga memiliki kenaikan.

Para korban kekerasan berbasis gender selama masa pandemik COVID-19 juga mengalami kesulitan dalam mengakses kebutuhan informasi serta layanan bantuan. Mulai dari rumah aman, bantuan hukum, pendampingan pskilogis, serta layanan kesehatan.

2. Isu kesehatan mendapat banyak sorotan di tengah pandemik COVID-19, tetapi masih banyak masalah yang harus dibenahi

Konferensi pers daring Women’s March Jakarta 2021, Senin (19/4/2021). IDN Times/Tyas Hanina

Akses layanan kesehatan yang belum merata menjadi salah satu masalah yang harus dibenahi. Hal tersebut dituturkan oleh Dr. Sandra Suryadana, Pendiri Dokter Tanpa Stigma.

"Sebenarnya, isu kesehatan yang terjadi di masa pandemik bukan hal yang baru. Tetapi, dampaknya dari permasalahan yang gak diselesaikan, jadi makin terasa besar selama pandemik. Terutama dirasakan oleh teman-teman perempuan dan kelompok marginal," ungkapnya.

Sandra juga menyoroti masalah peran ganda yang membuat para perempuan jadi lebih dipenuhi kesibukan dan sekaligus rentan terpapar COVID-19. Selain akses layanan kesehatan fisik, ia pun mengatakan bahwa ada sektor kesehatan lainnya yang kurang mendapat perhatian, yaitu akses kesehatan reproduksi dan mental.

"Banyak fasilitas kesehatan yang mengategorikan kesehatan reproduksi dan mental itu non esensial, sehingga pelayanannya jarang diatasi," kata Sandra.

Hal ini memengaruhi kenaikan angka kelahiran selama pandemik COVID-19 dan perkawinan anak. Selain itu, fasilitas layanan kesehatan mental juga masih belum merata persebarannya di berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu, Sandra juga menyampaikan salah satu tuntutannya, "Stigma negatif dan diskriminasi paling besar dari tenaga medis. Karena itu, kita menuntut supaya pemerintah memasukkan kurikulum khusus berbasis gender dan HAM kepada tenaga medis."

"Kita mengharapkan pemerintah memperhatikan kesejahteraan tenaga medis khususnya perempuan. Di garda terdepan perempuan, hampir 3 kali lipat lebih banyak," tambahnya.

Baca Juga: Kasus Kekerasan pada Anak dan Perempuan di Sultra Naik 100 Persen

3. Perlindungan HAM bagi perempuan korban kekerasan masih belum merata. Kasus HAM juga meliputi sektor industri lainnya, seperti lingkungan

Konferensi pers daring Women’s March Jakarta 2021, Senin (19/4/2021). IDN Times/Tyas Hanina

Siti Husna SH, Staf Divisi Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, menjadi salah satu narasumber dalam konferensi pers daring ini.

Ia mengungkapkan berdasarkan data yang diterima lembaganya, peningkatan angka perempuan sebagai korban kekerasan meningkat cukup tajam.

"Paling banyak KDRT psikis dan ekonomi. Tetapi, ada  juga KDRT fisik. Kasus ini sangat sulit dilaporkan, apalagi di awal pandemik, mitra dan pendamping mengalami lockdown massal sehingga banyak transportasi tutup dan sulit menjangkau kantor polisi," paparnya.

Ia mengkritisi langkah kebijakan PSBB yang tidak disertai dengan mekanisme yang mendukung korban untuk mengakses keadilan. "Apabila kita harus datang ke kantor polisi dan kebijakan menjaga jarak di sana masih sangat minim. Di pengadilan pun situasinya juga begitu, sehingga perempuan dan pendamping itu semakin rentan," katanya.

Selain mendesak akses keadilan dan layanan hukum yang lebih mudah secara online, Siti Husna juga menyampaikan tuntutan agar pemerintah bisa menyediakan vaksin bagi para pendamping.

Bagi Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, kasus kekerasan yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) juga dipengaruhi oleh sektor lain. Lebih jelasnya, ia mengatakan, "Hak yang satu sangat tergantung dari hak-hak lain. Gak bisa dilepaskan atau dibedakan. Ini sebetulnya bermuara dari arah pembangunan yang gak menetapkan rakyat apalagi perempuan di pusatnya."

Sambil memberikan beberapa contoh kerusakan lingkungan dan perlawanan yang dilakukan masyarakat setempat, ia juga menyampaikan tuntutannya pada WMJ 2021.

"Kita harus menuntut agar negara segera memperhatikan perempuan dalam segala bidang hidupnya secara holistik dengan cara mencabut UU yang gak berpihak terhadap perempuan dan membuat UU yang akan mendukung hak-hak perempuan," ujarnya.

4. Kelompok minoritas menjadi salah satu pihak yang paling rentan mengalami kekerasan selama pandemik COVID-19

Konferensi pers daring Women’s March Jakarta 2021, Senin (19/4/2021). IDN Times/Tyas Hanina

Seperti yang sudah disebutkan pada poin-poin sebelumnya, angka kekerasan dan diskriminasi dirasakan oleh banyak perempuan dan kelompok minoritas di Indonesia. Hal ini juga disampaikan oleh Mahdalena dari Federasi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).

Kekerasan berbasis ekonomi dirasakan oleh para ibu yang berperan menjadi kepala keluarga dan tulang punggung keluarganya. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan secara drastis.

"Akses bantuan dari pemerintah untuk UMKM harus punya rekening, nomor induk usaha, dan NPWP. Banyak di antara ibu-ibu pengusaha kecil dan informal yang tidak memiliki hal-hal tersebut," ujarnya.

Keresahan ini juga dirasakan oleh para kelompok transgender. Mereka menjadi salah satu kelompok minoritas yang sangat rentan terpapar COVID-19 karena tuntutan pekerjaannya di bidang informal.

Rere Agistya, Program Manager Sanggar SWARA yang merupakan perwakilan kelompok transpuan menuturkan, "Dari penelitian kami, hanya 17 persen dari 450 responden transpuan yang bisa memiliki pekerjaan formal. Sementara bantuan pemerintah sangat jarang sampai kepada kelompok transgender."

Selain masalah ekonomi, pandemik COVID-19 juga memengaruhi jalannya sektor pendidikan. Anak-anak dalam kelompok disabilitas mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan jarak jauh.

Syiffa Anisa, perwakilan Himpunan Disabilitas Wanita Indonesia mengatakan, "Ketika mereka dibiasakan dengan konsep belajar di rumah itu, ada yang tantrum dan kesulitan untuk mengakses fitur seperti Zoom meeting. Kadang, ada juga yang gak punya smartphone. Itu menambah tekanan bagi mereka maupun keluarganya."

"Kami berharap pemerintah mengeluarkan regulasi darurat untuk memberikan pendidikan inklusif bagi kelompok difabel," tambahnya.

5. Keresahan ini juga turut dirasakan di dalam sektor industri hiburan

dok. Women's March Jakarta 2021

Aksi WMJ 2021 juga didukung oleh kelompok penggemar musisi Korea Selatan, BTS Army Indonesia. Karlina Octaviany sebagai perwakilan dari BTS Army Indonesia, menyatakan dukungannya terhadap gerakan ini.

"Bersama WMJ, kami mengadakan pre-event untuk mengamplifikasi tuntutan, menghadapi kekerasan berbasis gender online yang rentan dialami para penggemar perempuan, dan penggalangan dana untuk korban kekerasan terhadap perempuan," katanya.

Di industri hiburan tanah air, masalah kekerasan juga dialami oleh para pekerja kreatif. Seperti yang dipaparkan oleh Nadine Alexandra ketika membagikan pengalaman personalnya. Berawal dari keresahan pribadinya, Nadine dan aktris lain mulai membentuk gerakan sosial untuk membahas masalah kekerasan seksual di lingkungan syuting.

"Kenapa sih kita tertarik menggunakan platform kita? Jawabannya, sih, simpel ya, karena saya sendiri mengalami hal-hal ini dan saya ingin sekali mengubah lingkungan kerja saya jadi lebih aman dan nyaman untuk perempuan," ujar Nadine.

Selain itu, aktris muda ini juga menyampaikan, “Kami juga berusaha membuat underground warning system. Industri perfilman gak langsung mendukung usaha tersebut untuk membuat lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Ini bukan hal yang gampang."

Baca Juga: Apes Kuadrat Korban Kekerasan Seksual, Bukti Urgensi RUU PKS

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya