Kenapa Istilah Feminisme Dianggap Begitu Tabu untuk Dikatakan?

Dalam beberapa tahun belakangan, pergerakan feminis telah menarik sejumlah perhatian di beberapa penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Meskipun banyak yang mengaku dan mengklaim diri sebagai feminis, tak sedikit pula yang merasa tidak mengidentifikasi diri mereka dengan sebutan demikian. Apa yang salah dengan pemahaman ini sehingga banyak yang lebih menyebut diri mereka sebagai aktivis kesetaraan gender daripada feminis?
Banyak publik figur yang terang-terangan menyuarakan feminisme seperti Emma Watson yang meluncurkan kampanye kesetaraan dengan PBB dan Jameela Jamil yang membuat kampanye Body Positivity Warrior. Itu pun masih belum membuat para perempuan, terutama di Indonesia masih bisa menerima ideologi ini dengan tangan terbuka dan penuh kebijaksanaan.
1. Perkembangan feminisme di Indonesia sendiri tak tergolong mulus dan cepat
Pergerakan feminisme di Indonesia termasuk dalam kategori yang tidak terlalu mendapat sambutan yang baik dari masyarakat kita, terlebih dari para laki-laki yang selama ini dimanjakan dengan kentalnya budaya patriarki di Indonesia.
Berlangsungnya momen Women’s March di beberapa kota di Indonesia semakin membuat kita menyadari bahwa masyarakat kini perlahan sudah mulai mengerti pentingnya memahami kesetaraan gender dan apa saja dampaknya jika diskriminasi gender, budaya patriarki dan sikap anti feminisme ini semakin menyebar luas.
Jika memang banyak yang menganggap bahwa kesetaraan gender itu penting, lantas mengapa masih sedikit orang yang mengaku atau mengklaim diri mereka sebagai feminis? Bisa saja mereka hanya merasa bahwa istilah feminis benar-benar merepresentasikan diri mereka. Istilah feminisme sendiri rasanya juga cenderung gak menarik perhatian para wanita pekerja dari kelas menengah ke bawah.