Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Rosita Baptiste dalam Podcast VOA Indonesia (youtube.com/VOA Indonesia)

Bukan pencapaian yang mudah menjad perwira militer di luar negeri. Namun, hal itu bisa dibuktikan oleh Rosita Baptiste yang kini berpangkat Letnan Kolonel (Letkol) di Angkatan Darat. Perjalanan hidupnya menjadi inspirasi bahwa kesuksesan tidak bisa diraih dengan instan.

Ada banyak keringat di balik perjuangannya untuk membuktikan bahwa perempuan juga bisa berkarir di kancah militer. Sebagai orang Indonesia yang terjun ke dunia militer AS, kisah Rosita mengajarkan kita tentang semangat pantang menyerah dan dedikasi yang tinggi. Lantas, bagaimana perjalanan hidup Rosita sampai bisa menjadi Letkol?

1. Lulusan hukum yang pernah menjadi wartawan

Rosita Baptiste dalam Podcast VOA Indonesia (youtube.com/VOA Indonesia)

Rosita Baptiste memiliki nama lengkap Rosita Aruan Orchid Baptiste. Meski kini bergabung dengan angkatan militer AS, Rosita merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ia mengambil jurusan perdagangan internasional dan bekerja sebagai wartawan di media ekonomi dan bisnis.

"Saya bergabung dengan Warta Ekonomi tahun 1997. Kemudian pindah ke Amerika tahun 2000, September. Saya pindah ke sini karena menikah tahun 2000," ceritanya kepada VOA Indonesia.

Kecintaannya terhadap dunia jurnalistik membuat Rosita ingin bekerja lagi sebagai wartawan di Amerika. Sayangnya terhambat karena ia belum pernah menjadi wartawan di Amerika sebelumnya.

Namun, Rosita tidak menyerah begitu saja. Ia kemudian bekerja sebagai kasir di Burger King selama tiga bulan. Walau tidak ada pelanggan, ia tetap harus bekerja membersihkan meja hingga toilet.

"Pertama kali saya kerja harus bersihin toilet, saya nangis. Saya bilang sama ibu saya. Saya telpon mama di Jakarta. Gak kebayang, saya ke Amerika harus bersihin WC, tapi ya itulah hidup," katanya.

2. Mencoba masuk Militer AS tanpa terkendala tinggi badan

Rosita Baptiste dalam Podcast VOA Indonesia (youtube.com/VOA Indonesia)

Berhubung suaminya bekerja sebagai tentara Angkatan Darat Amerika Serikat, ia didukung untuk melamar kerja ke militer AS. Rosita sama sekali tidak terkendala oleh tinggi badan yang hanya 149cm. Bukan karena tinggi badan, ia gagal karena tidak lolos "passing grade" saat mengikuti ujian tertulis.

Rosita berkata, "Tapi apakah itu mematahkan semangat saya? Enggak. Maksudnya saya tanya berapa lama lagi saya baru boleh ambil ujian berikutnya. Harus tunggu 30 hari. Jadi selama 30 hari itu saya belajar, belajar lagi. Lewat (lolos)."

Meskipun usianya sudah menginjak 34 tahun saat pelatihan tetapi Rosita tidak menerima perlakuan yang berbeda. Ia tetap mendapatkan pelatihan fisik yang cukup keras saat menjalani sekolah mekanik. Tidak ada pengecualian untuk perempuan dan laki-laki.

Kariernya semakin gemilang di dinas militer AS. Rosita pernah ditempatkan di Jerman selama empat tahun. Setelah itu, ia dikirim ke Irak dan Kuwait. Rosita menjadi perwira, Letnan Satu, yang membawahi banyak anak buah.

Berada di zona rentan perang membuat Rosit harus memakai pakaian pelindung secara lengkap dari helm anti peluru, rompi anti peluru, dan selalu membawa senjata. Musuh bisa mengancamnya kapan pun dan dari mana pun sehingga ia harus siaga setiap saat.

3. Banyak pengalaman membahayakan yang membuatnya mengalami PTSD

Rosita Baptiste dalam Podcast VOA Indonesia (youtube.com/VOA Indonesia)

Berprofesi sebagai tentara di area perang membuat Rosita kerap mengalami pengalaman yang menegangkan dan traumatis. Dalam percakapannya di VOA Indonesia, Rosita menceritakan bahwa ia pernah hampir terkena tembakan peluru.

Saat itu, Rosita sedang berada di suatu ruang kelas. Ia ingin menancapkan kabel laptop ke bawah meja sehingga harus menunduk. Tiba-tiba ada peluru dari langit-langit yang jatuh ke arah meja Rosita.

"Dari langit-langit itu bolong tembus mental di meja saya, di meja. Pas, exactly. Kalau tadinya saya gak nunduk, ini (kepala) saya yang kena. Jadi, itu pengalaman, shaky, gemetaran," ujarnya.

Menurut Rosita, semua terjadi berkat Tuhan. Kalau ia tidak menunduk, posisi peluru langsung tertuju ke kepalanya yang saat itu tidak memakai helm. Sebagai tentara, kejadian-kejadian menegangkan membuatnya trauma.

Rosita bercerita, "Makanya, rata-rata tentara yang udah pernah dikirim perang itu, mereka punya PTSD. Termasuk saya, saya juga punya PTSD."

Pengalaman traumatis tersebut gak akan pernah hilang dari pikirannya. Namun, Rosita beranggapan kalau dirinya sendiri yang harus bisa berdamai dengan pengalaman tersebut daripada memikirkannya terus menerus. 

4. Jadi warga negara Amerika bukan berarti gak cinta Indonesia

Rosita Baptiste dalam Podcast VOA Indonesia (youtube.com/VOA Indonesia)

Setelah menunggu cukup lama, Rosita dan suami dikaruniai anak pada tahun 2009. Awalnya Rosita sempat disangka ingin menghindar dari penugasan tetapi ia menjelaskan kepada pihak dinas militer bahwa ingin memilk anak. Ketika anaknya lahir, Rosita berusia 41 tahun dengan pangkat Letnan Satu.

"Kalau cinta jangan suruh milih istilahnya. Maksudnya kita mencintai dua-duanya," imbuhnya.

Setelah itu, Rosita terus naik pangkat dan menjadi warga negara Amerika Serikat. Namun, bukan berarti ia tidak mencintai Indonesia. Sejak anaknya lahir, Rosita terus mengenalkan dengan bahasa Indonesia. Rosita mengaku sangat mencintai budaya Indonesia. 

"Sampai sekarang manggilnya ibu sama ayah. Saya juga memperkenalkan makanan-makanan Indonesia. Di sini pas saya naik pangkat, orang-orang Indonesia di San Antonio mereka masak (makanan) Indonesia semua," tuturnya.

5. Menguburkan mimpi jadi Polwan di Indonesia tapi bisa jadi Letnan Kolonel di AS

Rosita Baptiste dalam Podcast VOA Indonesia (youtube.com/VOA Indonesia)

"Ada juga keinginan jadi polwan. Tapi kan gak mungkin jadi polwan kecil begini? Artinya, dari segi tinggi badan, saya sudah di-stop," kata Rosita.

Rosita bercita-cita ingin menjadi polisi wanita (polwan) di Indonesia. Sayang, mimpinya harus dikubur karena tinggi badan yang tidak memenuhi persyaratan. Meski tidak bisa menjadi polisi di Indonesia, kini ia bisa menjadi tentara di Amerika Serikat.

Rosita melihat bahwa ia dinilai berdasarkan kemampuan bukan tinggi badan. Artinya, sangat memungkinkan menjad polisi atau tentara bila dilihat dari kemampuan otak.

Rosita aktif bertugas selama 11 tahun 3 bulan. Setelah itu, ia memilih keluar karena anak. Sebagai ibu, Rosita merasa anaknya lebih membutuhkan ibunya.

"Angkatan akan tetap berjalan tanpa atau dengan saya. Sementara anak lebih butuh saya. Anak saya lahir, itu berkat terbesar," sambungnya.

Rosita Baptiste merasa mengkhianati doa yang menginginkan punya anak tetapi memilih pekerjaan. Akhirnya, ibu satu anak ini memilih tetap berkarier meskipun harus berpindah dari tugas aktif ke cadangan

Editorial Team