Ilustrasi kekerasan. (IDN Times/Mia Amalia)
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dunia maya mengalami peningkatan sebesar 300 persen pada akhir tahun 2019. Hal ini bisa saja terjadi karena di Indonesia belum ada aturan hukum yang secara komprehensif menangani kekerasan seksual. Dilansir Magdalene.co, terdapat tiga aturan hukum yang menjadi rujukan kasus kekerasan seksual, yakni Undang-undang perlindungan anak, Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sayang, dari ketiga aturan tersebut, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya menjelaskan pasal pemerkosaan dan pencabulan. Sehingga, definisinya sendiri sangat sempit dan tidak memfasilitasi kasus KBGO.
Terlebih, saat ini banyak sekali perempuan yang menggunakan internet dan media sosial untuk mengekspresikan diri, berbagai karya, serta berkomunikasi. Namun, di sisi lain banyak di antara mereka yang menjadi korban karena kurangnya pemahaman mengenai cara berinteraksi yang baik dan aman di ranah online.
Maka dari itu, edukasi tentang cara menciptakan ruang online yang aman dan nyaman bagi semua orang menjadi hal mendesak yang perlu dibahas dan dipertimbangkan. Apalagi selama masa pandemik COVID-19 jumlah laporan kasus KBGO mengalami peningkatan.