dok. Istimewa (instagram.com/westianiagustin)
Memasuki tahun keempat, Biyung Indonesia tetap konsisten membuat konten edukasi di media sosial. Bagi Ani, kampanye tersebut penting karena bisa membuat isu ini semakin luas dibicarakan. Selain itu, Biyung juga melakukan strategi kolaborasi dengan menggandeng komunitas atau gerakan lainnya. "Maka ada semakin banyak perempuan yang bisa lepas dari isu period poverty," ujarnya.
Sebagai founder, Ani telah memiliki cukup banyak pengalaman di bidang lingkungan. Ia aktif berkegiatan volunteer sejak kuliah. Ia menuturkan, "Bagiku pribadi, isu lingkungan dan perempuan itu sangat dekat. Makanya harus dikerjakan, diperhatikan, dan dipenuhi secara paralel atau terintegrasi".
Kepedulian yang tinggi terhadap isu lingkungan juga ditularkannya kepada anak-anaknya. Ia dan keluarga kecilnya melakukan kegiatan home schooling secara mandiri. "Pada salah satu program, kami membuat satu aktivitas yang bisa menghasilkan uang. Namun, juga harus berdampak untuk lingkungan atau masyarakat sekitar," katanya.
Dari sana, kedua putrinya memutuskan untuk mengelola usaha pembalut kain. Sampai saat ini, produksi pembalut kain dan segala kegiatan Biyung masih dikelola dari tempat tinggal mereka.
Ada cerita menarik di balik pemilihan nama Biyung yang dalam bahasa Jawa digunakan sebagai panggilan Ibu. "Beberapa tahun sebelum mendirikan gerakan ini, aku beraktivitas di sebuah wilayah yang punya legenda tentang biyung. Di tahun yang sama juga aku punya masalah dengan ibuku sendiri," tutur Ani.
Kisah legenda tersebut dan diskusi dengan sang ibunda menjadi pembelajaran berharga untuknya. Ani ingin mengampanyekan tentang keberadaan dan ketangguhan seorang ibu. Ia kemudian menambahkan, "Kita sangat dekat dengan ibu kita secara rahim dan ibu kita secara ekosistem. Secara kesemestaan teori penciptaan kita semua berasal dari ibu bumi".