Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pria berolahraga
ilustrasi pria berolahraga (unsplash.com/Frankie Cordoba)

Intinya sih...

  • Terobsesi untuk berolahraga setiap hari tanpa istirahat

  • Mengikuti semua tren olahraga tanpa memahami kebutuhan tubuh

  • Memaksakan diri untuk menyamai prestasi orang lain

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) kini tidak hanya terjadi di dunia digital dan sosial, tetapi juga telah merambah ke dunia kebugaran. Banyak orang merasa tertinggal jika tidak berolahraga seintens atau seproduktif orang lain yang mereka lihat di media sosial. Dalam banyak kasus, dorongan ini memang mampu meningkatkan semangat untuk hidup lebih sehat. Namun, ketika motivasi itu berubah menjadi tekanan untuk selalu bergerak tanpa henti, tubuh justru bisa mengalami dampak negatif.

FOMO olahraga biasanya muncul ketika seseorang terus membandingkan performa atau rutinitas latihannya dengan orang lain. Padahal, kondisi fisik, kemampuan, dan kebutuhan tubuh setiap orang berbeda. Ketika perbandingan ini terlalu kuat, seseorang bisa kehilangan kesadaran terhadap batas dirinya sendiri. Aktivitas yang seharusnya menjadi sarana menjaga kesehatan justru berubah menjadi beban mental dan fisik.

Supaya kamu dapat menyadarinya sejak dini, yuk intip kelima bentuk FOMO olahraga yang tidak sehat untuk tubuh berikut ini. Keep scrolling!

1. Terobsesi untuk berolahraga setiap hari tanpa istirahat

ilustrasi pria berolahraga (freepik.com/yanalya)

Bentuk FOMO pertama yang sering terjadi adalah keyakinan bahwa tubuh harus berolahraga setiap hari tanpa henti. Banyak orang menganggap bahwa istirahat adalah tanda kemalasan, padahal masa pemulihan merupakan bagian penting dari proses kebugaran. Ketika tubuh terus dipaksa bekerja tanpa jeda, otot tidak memiliki waktu cukup untuk memperbaiki diri setelah latihan berat. Akibatnya, muncul risiko kelelahan kronis, penurunan performa, bahkan cedera serius seperti peradangan otot atau sendi.

Rasa bersalah karena tidak berolahraga sehari saja bisa menjadi gejala FOMO yang mengkhawatirkan. Seseorang mungkin merasa bahwa melewatkan latihan berarti kehilangan kemajuan yang telah diperjuangkan, padahal tubuh memerlukan keseimbangan antara aktivitas dan pemulihan. Dalam fisiologi olahraga, masa istirahat membantu otot memperkuat jaringan baru, menstabilkan sistem saraf, serta mengoptimalkan metabolisme.

2. Mengikuti semua tren olahraga tanpa memahami kebutuhan tubuh

ilustrasi pria berolahraga (freepik.com/wayhomestudio)

Bentuk FOMO lainnya muncul ketika seseorang ingin mencoba semua jenis latihan yang sedang populer di media sosial. Dari HIIT, crossfit, yoga, pilates, hingga berlari maraton, semuanya ingin dijajal tanpa memahami kecocokan dengan kondisi tubuh sendiri. Ketika motivasi utama hanyalah mengikuti tren, bukan mendengarkan kebutuhan tubuh, risiko cedera meningkat secara signifikan. Setiap bentuk olahraga memiliki tekanan dan intensitas berbeda, dan tidak semua jenis latihan sesuai untuk setiap individu.

Mengikuti tren olahraga secara membabi buta dapat membuat tubuh mengalami stres berlebihan. Misalnya, berpindah dari latihan kekuatan ke cardio ekstrem tanpa jeda bisa membuat sendi dan otot bekerja di luar kapasitasnya. Selain itu, perubahan rutinitas yang terlalu cepat membuat tubuh tidak sempat beradaptasi. Pola seperti ini tidak hanya menghambat kemajuan kebugaran, tetapi juga bisa menurunkan motivasi karena hasil yang tidak sesuai ekspektasi.

3. Memaksakan diri untuk menyamai prestasi orang lain

ilustrasi pria berolahraga (freepik.com/freepik)

Dalam dunia kebugaran, membandingkan hasil dengan orang lain sering kali menjadi pemicu utama FOMO. Melihat seseorang yang mampu mengangkat beban lebih berat atau berlari lebih cepat dapat menimbulkan perasaan tertinggal. Jika perasaan ini tidak dikelola dengan baik, seseorang bisa terjebak dalam siklus berbahaya: terus memaksakan diri mencapai prestasi yang belum tentu sesuai dengan kemampuan fisiknya. Tubuh yang belum siap bisa mengalami kelelahan berat, nyeri sendi, hingga cedera otot.

Setiap individu memiliki latar belakang kebugaran yang berbeda. Faktor seperti usia, riwayat latihan, pola makan, hingga kualitas tidur turut memengaruhi kemampuan tubuh. Ketika seseorang memaksa diri meniru pencapaian orang lain, proses adaptasi tubuh terganggu. Bukannya berkembang, tubuh justru berada dalam tekanan tinggi. Dalam kondisi seperti ini, risiko overtraining syndrome meningkat, yaitu keadaan di mana tubuh tidak mampu pulih dengan baik karena intensitas latihan yang berlebihan.

4. Menganggap olahraga sebagai penebus makanan atau gaya hidup

ilustrasi pria berolahraga (freepik.com/katemangostar)

Salah satu bentuk FOMO yang paling halus namun berbahaya adalah ketika olahraga dijadikan alat untuk menebus kebiasaan makan atau gaya hidup tertentu. Banyak orang merasa harus berolahraga keras setiap kali makan lebih banyak dari biasanya, seakan-akan aktivitas fisik bisa menyeimbangkan semuanya secara instan. Pola pikir ini menciptakan hubungan yang tidak sehat antara olahraga dan makanan, bahkan dapat berkembang menjadi perilaku kompulsif.

Tubuh tidak bekerja berdasarkan prinsip hukuman dan penebusan. Kalori yang masuk dan energi yang keluar tidak selalu seimbang secara langsung, apalagi jika dilakukan secara ekstrem. Ketika olahraga digunakan sebagai alat untuk menghapus dosa makanan, keseimbangan hormonal dan emosional dapat terganggu. Latihan seharusnya menjadi bentuk penghargaan terhadap tubuh, bukan hukuman karena pilihan gaya hidup.

5. Terlalu bergantung pada pengakuan di media sosial

ilustrasi pria berolahraga (freepik.com/lookstudio)

Bentuk FOMO olahraga yang terakhir adalah kebutuhan berlebihan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain melalui media sosial. Banyak orang merasa bahwa latihan mereka baru bernilai jika diunggah dan mendapat respons positif. Ketika perhatian publik menjadi tolok ukur semangat berolahraga, motivasi intrinsik bisa hilang. Olahraga yang seharusnya membawa ketenangan dan keseimbangan justru menjadi sumber stres dan tekanan.

Ketergantungan terhadap pengakuan digital dapat menimbulkan efek psikologis yang kompleks. Ketika tidak ada like atau komentar, seseorang bisa merasa gagal atau kurang bersemangat untuk melanjutkan latihan. Pola ini secara perlahan merusak makna sejati olahraga sebagai aktivitas pribadi yang menumbuhkan kebugaran fisik dan mental. Menjadikan kebugaran sebagai ajang validasi sosial membuat seseorang lebih fokus pada citra daripada manfaat nyata yang diperoleh tubuhnya.

Kunci utama dalam menjaga hubungan sehat dengan olahraga adalah mengenali motivasi diri. Ketika olahraga dilakukan karena cinta terhadap tubuh dan kesehatan, bukan karena dorongan membandingkan diri, hasilnya akan jauh lebih stabil dan menyenangkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team